Klasifikasi dan Diagnosis Leukemia Mieloblastik Akut (Riadi Wirawan)
KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
Riadi Wirawan
Departemen Patologi
Klinik FKUI-RSCM
ABSTRAK
Leukemia akut adalah penyakit keganasan sumsum tulang yang
ditandai dengan proliferasi sel imatur sumsum tulang, darah tepi, disertai
infiltrasi sel imatur ke organ tubuh seperti hati, limpa, dan kelenjar limfe.
Berdasarkan jenis sel yang berproliferasi, leukemia akut dapat dibedakan
menjadi leukemia mieloblastik akut (LMA) dan leukemia limfoblastik akut (LLA).
Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui klasifikasi leukemia akut.
Klasifikasi leukemia akut menurut French American British (FAB)
didasarkan pada pemeriksaan morfologi dan sitokimia, sedangkan klasifikasi
menurut WHO didasarkan pada morfologi, termasuk sitokimia, imunofenotiping,
sitogenetika, dan molekuler. Dalam makalah ini akan disampaikan mengenai
klasifikasi LMA dan diagnosis berdasarkan morfologi dan sitokimia.
PENDAHULUAN
Leukemia akut adalah keganasan yang ditandai dengan
proliferasi sel imatur (sel leukemik) di sumsum tulang, darah tepi dengan
infiltrasi organ hati, limpa, dan kelenjar limfe. Proliferasi sel imatur
mengakibatkan penumpukan sel leukemik di dalam sumsum tulang dengan akibat
fungsi hematopoiesis seperti eritropoiesis dan trombopoiesis tertekan.
Proliferasi sel imatur biasanya disertai dengan penurunan apoptosis1.
Klasifikasi menurut French American British (FAB) 1976 dikenal leukemia
limfoblastik akut (LLA) dengan subklasifikasi L1, L2, L3, dan leukemia
mieloblastik akut (LMA) dengan subklasifikasi M1, M2, M3, M4, M5, dan M6. Pada
tahun 1985 FAB memasukkan leukemia megakarioblastik akut sebagai M7, tahun 1991
memasukkan subklasifikasi MO dalam klasifikasi LMA seperti terlihat pada Tabel
1.1-3 Klasifikasi leukemia
akut menjadi LLA dan LMA berdasarkan morfologi dan sitokimia. Pemeriksaan
sitokimia yang dapat membedakan LLA dari LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
atau myeloperoxidase (MPO). Bila jumlah sel blas dengan pemeriksaan sitokimia
positif >3%, baik di darah tepi maupun di sumsum tulang digolongkan dalam
LMA.1-3 Untuk mengetahui adanya proliferasi sel blas yang berasal
dari seri monosit dapat dipakai pewarnaan sitokimia non specific esterase
(NSE).
KLASIFIKASI
Dikenal 2 macam klasifikasi yang dianut dalam hematologi yaitu klasifikasi menurut FAB dan WHO.
Untuk menegakkan diagnosis LMA selain pemeriksaan fisik
diperlukan data pemeriksaan laboratorium khususnya hematologi. Pemeriksaan yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis LMA adalah pemeriksaan hematologi lengkap
meliputi kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit, serta hitung jenis
leukosit; evaluasi sediaan hapus darah tepi; pemeriksaan sitokimia; leukaemia
phenotyping: sitogenetika; molekuler1,4. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai pemeriksaan hematologi, evaluasi sediaan hapus darah tepi, dan
pemeriksaan sitokimia.
Pemeriksaan Hematologi
Pada umumnya dijumpai anemia normositik normokrom (Gambar
1); jumlah leukosit menurun, normal, atau meningkat; jumlah trombosit umumnya
menurun kecuali pada t(3:3), inv(3) dijumpai trombositosis.1,5
Evaluasi sediaan hapus darah tepi
Untuk evaluasi sediaan hapus darah tepi atau sumsum tulang
sebaiknya dengan pewarnaan Romanowsky seperti pulasan Wright atau Wright-Giemsa
atau May-Gruenwald-Giemsa. Bahan pemeriksaan diperlukan darah tepi tanpa
antikoagulan atau dengan K3-EDTA yang telah ditampung maksimum 2
jam. Penundaan pembuatan dan fiksasi sediaan akan menyebabkan hasil pewarnaan
menjadi kurang baik dan mengganggu hasil evaluasi. Dalam evaluasi sediaan hapus
dilakukan dengan melihat morfologi eritrosit, menilai jumlah dan morfologi
trombosit, serta hitung jenis leukosit.
Morfologi eritrosit normositik normokrom, jarang dijumpai
eritrosit polikrom karena adanya retikulositopenia akibat desakan eritropoiesis
oleh sel leukemia. Kadang-kadang dijumpai anemia makrositik yang disebabkan
oleh ketidakmampuan eritropoiesis bersaing dengan sel blas dalam menggunakan
asam folat dan atau vitamin B12. Pada keadaan ini harus dilakukan
pemeriksaan sumsum tulang untuk konfirmasi adanya LMA.1 Jumlah
trombosit biasanya berkurang, kadang-kadang dijumpai kelainan morfologi
trombosit berupa giant platelet.1-3
Menurut FAB, leukemia akut ditegakkan bila jumlah sel blas ≥30% dari all nucleated cells (ANC) atau ≥30% dari non erythroid cells (NEC).2,3 Pada penilaian sediaan hapus atau sumsum tulang dengan pewarnaan Romanowsky dikenal 3 macam sel blas yaitu blas tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 yang harus dibedakan dengan promielosit berdasarkan warna sitoplasma, adanya granula primer, letak inti, kromatin inti, rasio inti terhadap sitoplasma (Tabel 3). Pada LMA didapatkan neutropenia dengan monositosis dan perlu dinilai adanya gambaran displasia.¹
Perlu dinilai adanya kelainan morfologi leukosit seperti anomali pseudo Pelger-Huet, batang Auer, dan hipogranulasi neutrofil. Adanya batang Auer dapat membedakan leukemia mieloblastik akut (LMA) dari leukemia limfositik akut (LLA). Batang Auer multipel dapat dijumpai pada leukemia promielostik akut (M3).
Pemeriksaan Sitokimia
Bahan pemeriksaan sitokimia dapat dipakai sediaan hapus
darah tepi atau sumsum tulang segar. Bila jumlah sel blas di darah tepi sangat jarang,
sebaiknya pewarnaan sitokimia menggunakan sediaan sumsum tulang. Prinsip
pemeriksaan sitokimia dimulai dengan fiksasi sediaan, pewarnaan secara kimiawi
organel dari sel blas, dan pulasan tanding yang biasanya digunakan larutan
hematoksilin.1-3
Pemeriksaan sitokimia minimal yang perlu dilakukan adalah
pewarnaan MPO dan atau SBB. Pewarnaan MPO adalah katalisator yang menyebabkan
terjadinya reaksi oksidasi H₂O₂ menjadi H₂0 dan O2. Penambahan
3,3-diamino benzidine atau 3-amino-9-ethyl- carbazole akan mewarnai granula
primer pada sel blas, granula sekunder yang terdapat pada neutrofil, eosinofil,
monosit, dan batang Auer.1,5 Pewarnaan SBB adalah zat warna diazo
yang dapat mewarnai fosfolipid, lemak netral, dan sterol. Adanya unsur tersebut
dengan SBB akan memberikan warna coklat kehitaman. Pewarnaan SBB akan
memberikan hasil positif pada granula primer dari sel blas. granula sekunder
yang terdapat pada neutrofil, eosinofil, monosit, dan batang Auer.1,5
Kedua pewarnaan tersebut bermanfaat untuk membedakan sel blas LMA dari LLA.
Kadang-kadang pada sel blas LMA dengan defisiensi MPO memberikan hasil negatif,
sehingga sering dinilai sebagai limfoblas. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan
kedua pewarnaan sitokimia tersebut. Pada LMA sel blas kedua pewarnaan sitokimia
menunjukkan hasil yang positif kecuali pada LMA M0, dan M7.1,3,5
KRITERIA DIAGNOSTIK LMA1-4
Pada tahun 1991, FAB menggolongkan LMA menjadi LMA subtipe M0,
M1, M2, M3, M4, M5, M6,
dan M7 berdasarkan morfologi dan sitokimia serta pada M0
dan M7 diperlukan pemeriksaan immunophenotyping.
Kriteria diagnostik LMA subtipe M0
Pada kelainan ini didapatkan jumlah sel blas ≥20% dari ANC atau ≥20% dari NEC. Sel blas
yang positif dengan pewarnaan SBB dan atau POX <3% sehingga keadaan ini akan
menyebabkan kesalahan diagnostik dari LMA subtipe M0, menjadi LLA.
Untuk membedakan keadaan ini dapat digunakan beberapa cara yaitu deteksi
antigen mieloid dengan antibodi monoklonal CD 117, CD 65, CD 64, CD 33, CD 15,
CD 14, dan CD 13; pemeriksaan aktivitas MPO sitokimia ultrastruktur dengan
menggunakan mikroskop elektron; pemeriksaan protein MPO menggunakan anti MPO
dengan metode imunositokimia.1-4
Kriteria diagnostik LMA subtipe M1
Pada kelainan ini didapatkan jumlah sel blas ≥20% dari ANC atau ≥90% dari NEC. Sel blas yang positif dengan pewarnaan SBB dan atau POX ≥3%. Dalam kriteria FAB dikenal beberapa istilah yaitu komponen granulosit dan komponen monosit. Komponen granulosit adalah sel yang tergolong dalam promielosit sampai neutrofil segmen, sedangkan komponen monosit adalah sel promonosit dan monosit. Pada LMA subtipe M1 komponen granulosit <10% dari NEC dan komponen monosit <10% dari NEC.1-4
Kriteria diagnostik LMA subtipe M₂
Pada kelainan ini didapatkan jumlah sel blas ≥20% dari ANC atau 20-89%
dari NEC. Sel blas yang positif dengan pewarnaan SBB dan atau POX ≥3%. Komponen granulosit
>10% dari NEC dan komponen monosit <20% dari NEC. Selain itu tidak
ditemukan kriteria M4.1-4
Kriteria diagnostik LMA subtipe M3
Pada M3, terjadi proliferasi promielosit dengan
morfologi abnormal. Jumlah promielosit ≥20%
dari ANC. Dikenal 2 macam LMA subtipe M3 yaitu subtipe hipergranuler
dan hipogranuler. Pada hipergranuler morfologi M3 biasanya mempunyai
inti seperti ginjal,
multilobus, mempunyai nukleoli 1-2 buah dan mempunyai sitoplasma yang luas dan
berwarna biru. Di dalam sitoplasma dapat dijumpai hipergranulasi, granula kasar
dengan batang Auer yang multipel dengan pewarnaan MPO dan atau SBB bereaksi
kuat. Pada leukemia promielositik akut hipogranuler disebut LMA subtipe M3v
dengan hipogranulasi atau agranulasi, dengan pewarnaan SBB-POX bereaksi kuat.1-4
Kriteria diagnostik LMA subtipe M4
Pada M4, terjadi proliferasi sel blas ≥20% dari
ANC atau ≥20% dari
NEC. Komponen granulosit ≥20% dari ANC. Selain itu harus dibuktikan adanya
komponen monosit yang ditunjukkan dengan 1 dari 3 kriteria di bawah ini:1-4
1. Komponen monosit dalam sumsum tulang ≥20% dari NEC dan monosit
darah tepi ≥5000/μL.
2. Komponen monosit sumsum tulang ≥20% dari NEC dan harus dikonfirmasi dengan pewarnaan
sitokimia non specific esterase (NSE) atau kadar lisosim serum atau urin
meningkat.
3. Komponen monosit ≥5000/μL
dan harus dikonfirmasi dengan pewarnaan sitokimia NSE atau lisosim urin.
Kriteria diagnostik LMA subtipe M5
Dikenal dua macam LMA subtipe M5 yaitu leukemia monoblastik akut (M5a) dan leukemia monositik akut (M5b). Pada LMA subtipe M5 didapatkan jumlah sel blas >20% dari ANC atau ≥20% dari NEC. Jumlah sel komponen monosit yaitu monoblas, promonosit, dan monosit ≥80% dari NEC. Pada M5a, jumlah monoblas ≥80% dari komponen monosit. Sedangkan pada M5b monoblas <80% dari komponen monosit.1-4
Kriteria diagnostik LMA subtipe M6
Menurut FAB kriteria diagnostik LMA subtipe M6 bila didapatkan blas ≥20% dari NEC dan sel seri eritrosit (eritroblas ≥50% dari ANC dengan pewarnaan PAS sel tersebut bereaksi positif). Menurut Zuo dkk, dikenal dua macam LMA yang mengenai sistim eritropoiesis, disebut acute erythroid leukemia (AEL). Acute erythroid leukemia digolongkan menjadi pure erythroid AEL dan erythroid myeloid AEL Cara membedakan kedua jenis AEL tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. 1-4,6,7
Pada hasil pemeriksaan didapatkan seri eritrosit (eritroblas
≥50%) dan jumlah
sel blas 10% dari ANC yang sesuai dengan 33% dari NEC. Berdasarkan alur
diagnostik AEL kasus ini dimasukkan dalam LMA subtipe M6b.
Kriteria diagnostik LMA subtipe M7
LMA subtipe M7 adalah leukemia akut yang ditandai
oleh proliferasi megakarioblas di sumsum tulang. Pada subtipe ini jumlah sel
blas ≥20%, dijumpai
cytoplasmic bleb pada pewarnaan sitokimia MPO/ SBB negatif dan positif
pada pewarnaan PAS, fosfatase asam, dan NSE. Untuk membuktikan adanya
megakarioblas dipastikan dengan pemeriksaan petanda imunologi menggunakan gplb
(CD 42b) gpllbIlla (CD 41), gpllla (CD61), atau sitokimia ultrastruktur
terhadap platelet peroxydase (PPO).1-4
RINGKASAN
Diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
hematologi darah tepi termasuk retikulosit, evaluasi sediaan hapus, pemeriksaan
sitokimia, dan sumsum tulang. Untuk menggolongkan LMA menjadi 8 subtipe
digunakan klasifikasi FAB secara morfologi dan sitokimia SBB dan/atau MPO, dan
tidak mungkin dapat mendeteksi M0, M7. dan leukemia blilineage
dan biphenotype. Perlu diketahui kriteria diagnostik baru untuk AEL yang
menggolongkan LMA M6 menjadi M6a dan M6b.
DAFTAR PUSTAKA
1. Leclair SJ, Williams JL. Acute myeloid leukemia In:
Clinical laboratory hematology. 2nd. New Jersey, Pearson: p.504-23.
2. Bennet JM, Catovsky D, Daniel MT, et al: proposals for
the classification of acute leukemias. French-American- British (FAB)
co-operative group. Br J Haematol 33: 1976.p.451-8
3. Bennet JM, Catovsky D, Daniel MT, et al: proposed revised
criteria for the classification of acute myeloid leukemias. A report of the
French-American- British (FAB) co-operative group. Ann Intern med 103:
1985.p.620-5
4. Arber DA, Brunning RD, Le Beau MM et al. Acute myeloid
leukemia and related precursor neoplasm. In: Swerdlow SH, Campo E, Harris NL et
al, ed. 4th ed. Lyon, WHO. 2008.p.110-41.
5. Bates I. Approach of diagnostic of blood diseases In:
Dacie and Lewis practical haematology. Lewis SM, Bain BJ, Bates I, ed. 9th ed.
London, Churchill Livingstone. p. 579-84.
6. Zuo Z, Polski JM, Kasyan A, Medeiros J. Acute erythroid
leukemia. Arch Pathol Lab Med, 2010.p. 1261-70 7. Park S, Picard F. Dreyfus F.
Mini review: erythroleukemia: a need for the new definition. Leukemia 16:
2002.p. 1399-401
Comments
Post a Comment