Flow Cytometry Pada Keganasan (Dewi Wulandari)
FLOW CYTOMETRY PADA KEGANASAN
Dewi Wulandari
Departemen Patologi
Klinik FKUI-RSCM
ABSTRAK
Flow cytometry merupakan
suatu teknik analisis kuantitatif yang berdasarkan prinsip pemeriksaan
imunofluoresensi terhadap suspensi sel tunggal. Struktur eksternal dan internal
sel dapat dikenali menggunakan antibodi monoklonal yang dikonjugasi dengan zat
fluorokrom. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser akan membiaskan berkas
sinar tersebut, dan fluorokrom yang melekat pada sel akan memendarkan sinar
emisi dengan panjang gelombang tertentu. Oleh karena itu, karakteristik sel
dapat dikenali berdasarkan pola biasan cahaya yang mencerminkan ukuran dan
kompleksitas struktur sel, serta pendaran fluoresensi yang menunjukkan adanya
ekspresi antigen tertentu. Aplikasi Flow cytometry dalam bidang onkologi
yang paling dikenal untuk keganasan hematologi. Flow cytometry dipakai
untuk membantu menegakkan diagnosis, pemantauan terapi, dan deteksi minimal
residual disease pada leukemia akut. Selain itu, Flow cytometry juga
dimanfaatkan untuk kelainan mieloproliferatif dan/atau limfoproliferatif
kronik. Sedangkan untuk tumor padat, Flow cytometry lebih banyak
dimanfaatkan untuk mengetahui perangai sel kanker dan prognosis, antara lain
analisis ploidi DNA, siklus sel, dan apoptosis. Selain itu, Flow cytometry
dapat dipakai untuk identifikasi molekul target untuk targeted therapy,
dan deteksi multi-drug resistance pada berbagai keganasan.
PENDAHULUAN
Flow cytometry merupakan
suatu teknik kuantifikasi dan analisis sel. Teknik Flow cytometry mulai
dikembangkan pada tahun 1970an dan berkembang pesat sejalan dengan perkembangan
di bidang hematologi dan imunologi. Di awal perkembangannya, teknik Flow
cytometry lebih banyak dipakai dalam berbagai riset. Aplikasi klinis
pertama yang diterima secara luas adalah pemeriksaan limfosit subset sebagai
bagian dari penatalaksanaan pasien terinfeksi HIV pada tahun 1980an.
Selanjutnya dikembangkan pemeriksaan untuk berbagai keganasan hematologi.1.2
Flow cytometry adalah
suatu teknik pemeriksaan berbasis ikatan antigen-antibodi. Antibodi monoklonal
yang berlabel fluorokrom dipakai untuk mengenali antigen spesifik yang
diekspresikan oleh sel. Berbeda dengan imunohistokimia yang berbasis jaringan,
pemeriksaan Flow cytometry berbasis pada aliran sel tunggal (single
cell flow). Keuntungan teknik ini dibandingkan imunohistokimia adalah
kemampuannya menganalisis hingga ribuan sel per detik, dan penggunaan beberapa marker
sekaligus.1,2 Aplikasi Flow cytometry dalam bidang onkologi,
dimulai dengan aplikasi pada keganasan hematologi. Immunophenotyping sudah
dipakai secara luas untuk diagnostik, penentuan lineage pada leukemia akut, penentuan prognosis,
deteksi minimal residual disease (MRD), dan targeted therapy.
Sedangkan aplikasi pada keganasan non hematologi sebagian besar masih terbatas
pada penelitian. Berbagai pemeriksaan dengan Flow cytometry pada tumor
non hematologi antara lain analisis DNA ploidi dan siklus sel, deteksi circulating
tumor cell untuk mendeteksi mikrometastasis, dan analisis multi-drug
resistance.
Perkembangan terkini aplikasi Flow
cytometry di bidang onkologi adalah deteksi produk dari fusi gen seperti
BCR-ABL dan PML-RARA pada berbagai keganasan hematologi. Namun saat ini masih
terbatas dalam penelitian, dan antibodi monoklonal tersebut belum tersedia
secara komersial.8
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai prinsip pemeriksaan Flow cytometry, aplikasinya pada keganasan
hematologi, dan non-hematologi, serta perkembangan terkini dalam deteksi produk
fusi gen.
PRINSIP DASAR FLOW
CYTOMETRY
Pemeriksaan Flow cytometry
berdasarkan ikatan antibodi berlabel fluorokrom pada antigen spesifik yang
diekspresikan oleh suatu sel untuk mengenali karakteristik sel tersebut dalam
suatu suspensi sel yang heterogen. Jika sampel pemeriksaan berupa jaringan
padat harus terlebih dahulu dibuat menjadi suspensi sel tunggal. Selanjutnya
pemeriksaan Flow cytometry dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu preparasi
sampel, akuisisi, dan analisis.1,2
Tahap preparasi sampel sebaiknya
dilakukan pada sampel segar, Sampel terbaik adalah sampel yang kurang dari 4
jam pasca pengambilan sampel. Sampel darah memerlukan antikoagulan. Antikoagulan EDTA dan
heparin merupakan anti koagulan yang paling sering digunakan. Jika sampel
berupa jaringan padat, tidak disarankan memakai formalin atau alkohol absolut
sebagai pengawet. Hal ini akan mempengaruhi struktur antigen di permukaan sel,
sehingga dapat mempengaruhi ikatan antigen oleh antibodi monoklonal berlabel
fluorokrom. Sampel jaringan dapat dimasukkan ke dalam salin fisiologis atau
buffer PBS, dan jika akan dilakukan penundaan sampel jaringan sebaiknya
dimasukkan ke dalam media kultur sel untuk menjaga viabilitas sel.1,2
Pada tahap preparasi sampel ini,
antibodi monoklonal berlabel fluorokrom yang ditambahkan ke dalam suspensi sel
akan berikatan dengan antigen spesifik yang menjadi targetnya. Jika antigen
yang menjadi target merupakan antigen intrasel, membran sel perlu
dipermeabilisasi agar antibodi monoklonal dapat mengakses antigen intrasel
tersebut. Selanjutnya, apabila sampel banyak mengandung eritrosit, misalnya
sampel darah, dilakukan lisis eritrosit dan fiksasi ikatan antigen-antibodi.1,2
Tahap selanjutnya adalah tahap
akuisisi. Pada tahap ini suspensi sel tunggal dialirkan melalui berkas sinar
laser. Sistem fluidik dengan hydrodynamic focusing akan mengalirkan sel
pada satu garis pada saat melalui berkas sinar laser. Pada titik yang disebut interrogation
point ini, sistem optik alat yang terdiri dari seperangkat cermin, filter,
dan detektor cahaya. Detektor forward scattered light (FSC) yang terletak
segaris dengan laser sumber cahaya, akan menangkap banyaknya cahaya yang
diteruskan pada saat sel melewati interrogation point. Banyaknya cahaya yang
diteruskan ini mencerminkan ukuran sel. Detektor side scattered light (SSC)
yang terletak pada sudut antara 10-90° dari sumber cahaya, akan menangkap sinar
yang dibiaskan pada saat sel melewati interrogation point. Banyaknya sinyal
yang ditangkap oleh detektor SSC mencerminkan kompleksitas internal sel.
Semakin kompleks struktur internal suatu sel, makin tinggi sinyal yang
ditangkap oleh detektor SSC. (Gambar 1).1,2
Gambar 1. Forward
scattered light detector (FSC) untuk menentukan ukuran relatif sel, dan Side
Scattered detector yang mencerminkan kompleksitas relatif suatu sel pada
saat melewati interrogation point.1,2
Seperangkat sistem optik lainnya, berupa filter dan detektor cahaya dengan rentang deteksi tertentu. Setiap detektor hanya mampu menangkap panjang gelombang emisi fluoresensi tertentu yang dipancarkan oleh fluorokrom pada saat tereksitasi oleh berkas sinar laser. Perangkat Flow cytometry yang ada saat ini mempunyai kemampuan mendeteksi 2-12 fluoresensi sekaligus. Selain itu, detektor ini mampu membedakan populasi sel berdasarkan intensitas relatif fluoresensi yang dipancarkan sebagai satu sel. Oleh karenanya selain memperoleh karakteristik dari setiap sel, dapat juga diperoleh hitung relatif sel.1,2
Gambar 2.
Diferensiasi sel berdasarkan intensitas relatif fluoresensi.1,2
APLIKASI FLOW CYTOMETRY
PADA KEGANASAN HEMATOLOGI
Diagnostik
Diagnosis dan klasifikasi
keganasan hematologi, terutama leukemia akut awalnya didasarkan pada morfologi
dan pewarnaan sitokimia pada sediaan hapus atau biopsi sumsum tulang. Namun
sejalan dengan perkembangan di bidang hematologi klinik, diagnosis berdasarkan
morfologi sel dan pewarnaan sitokimia ini tidak selalu memuaskan. Kedua metode
ini tidak mampu mendeteksi keganasan yang melibatkan lebih dari satu lini
hematopoietik dan bentuk campuran. Penggunaan multi-color Flow
cytometry mampu lebih baik mengidentifikasi populasi sel yang
mengekspresikan lebih dari satu penanda lini hematologik, dan dengan
menggunakan panel antibodi monoklonal mampu membantu identifikasi pada kasus unidentified
acute leukemia yang sulit dikenali secara morfologik.1,3,4
Diagnosis leukemia akut
ditegakkan berdasarkan ditemukannya sel blas melebihi 20% di sumsum tulang dan
darah tepi. Flow cytometry membantu membedakan akumulasi sel blas pada
leukemia akut dari berbagai kondisi sumsum tulang reaktif lain seperti reaksi
leukemoid dan regenerasi sumsum tulang. Populasi sel blas dapat diidentifikasi
berdasarkan beberapa karakteristik, antara lain populasi dengan sinyal FSC
sedang-tinggi dan SSC rendah, atau populasi dengan ekspresi CD45 lemah dan SSC
lemah, atau populasi yang mengekspresikan penanda imaturitas misalnya CD34.
Selanjutnya penentuan lini hematopoietik dari blas leukemik ditentukan oleh
ekspresi penanda yang bersifat lineage assignment.3,4
Lineage assignment untuk lini mieloid
berturut-turut dari yang paling spesifik adalah MPO, CD117, CD13, dan CD33.
Sedangkan untuk lini limfoid B tidak ada ekspresi yang benar-benar dapat
dijadikan lineage assignment.
CD19 yang dianggap paling spesifik
untuk sel B, ternyata juga sering ditemukan pada berbagai kasus AML.
Sebaliknya, pada lini limfoid T ekspresi CD3 merupakan lineage assignment yang cukup spesifik, baik
ekspresi ekstraselular maupun intraselular.3, 4
Prognostik
Ekspresi aberans sering kali
dianggap sebagai faktor yang memperburuk prognosis. Ekspresi aberans meliputi ekspresi berlebih antigen yang
seharusnya bukan merupakan bagian dari kelompok antigen dari lini terkait,
misalnya CD2 yang merupakan antigen pada lini limfoid T diekspresikan oleh blas
AML. Sebaliknya, kehilangan ekspresi antigen yang seharusnya merupakan bagian
dari lineage assignment, misalnya MPO negatif pada AML. Umumnya leukemia
akut dengan keterlibatan banyak lini (mixed phenotype acute leukemia)
dan leukemia akut yang sdak mengekspresikan lineage assignment tertentu
(unclassified acute leukemia) mempunyai prognosis yang lebih buruk.3
Deteksi Minimal Residual
Disease
Deteksi minimal residual
disease (MRD) merupakan salah satu hal penting dalam tatalaksana leukemia
akut. Status remisi pasca terapi pada limfoma ditentukan gambaran resolusi pada
kelenjar getah bening, sedangkan pada leukemia akut ditentukan dari terbebasnya
sumsum tulang dari blas leukemik. Secara umum remisi ditetapkan jika ditemukan
sel blas <5% di sumsum tulang. Pemeriksaan mikroskopik mampu mendeteksi
apabila terdapat 1 sel leukemik di antara
20-30 sel, sedangkan dengan Flow cytometry 1 sel leukemik di antara 10.000 sel normal.5,6
Deteksi MRD pada jumlah sel blas yang sedikit merupakan tantangan tersendiri.
Dalam hal ini sangat tergantung pada gambaran fenotipik pada saat diagnosis
yang dikenal dengan leukemia-associated immunophenotype (LAIP). Namun
untuk mendapatkan LAIP yang mencukupi untuk deteksi MRD, diperlukan tambahan
antibodi monoklonal melebihi lineage assignment, serta penggunaan 4 atau
lebih fluorokrom secara simultan akan mempermudah.5,6
Targeted therapy
Perkembangan terapi keganasan
saat ini lebih bersifat individual. Penggunaan antibodi monoklonal sebagai salah satu metode terapi
saat ini berkembang cukup pesat dan memberikan hasil yang lebih baik dengan
efek samping minimal. Saat ini targeted therapy yang secara komersial
tersedia untuk keganasan hematologi antara lain: Rituximab, antibodi monoklonal
terhadap CD20 pada sel B, Gemtuzumab, antibodi monoklonal terhadap CD33 pada
sel mieloid, dan Alemtuzumab, antibodi monoklonal terhadap CD52 pada sel
limfoid. Antibodi monoklonal ini akan menargetkan protein tersebut pada sel kanker,
dan selanjutnya sel kanker akan dibersihkan oleh sistem imun.¹
APLIKASI FLOW CYTOMETRY
PADA KEGANASAN NON- HEMATOLOGI
Analisis DNA Ploidi dan Siklus
Sel Kanker merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada gen.
Kebanyakan tumor padat pada manusia aneuploidy dan menunjukkan puncak G1 lebih
tinggi daripada diploid normal.
Oleh karena itu, pengukuran konten DNA yang dapat memberikan gambaran DNA
ploidi dapat membedakan antara sel kanker dan sel normal, dan memberikan
gambaran umum adanya perubahan gross pada kromosom. Selain itu juga
dapat dianalisis siklus sel.8, 9
Analisis konten DNA dan siklus
sel dilakukan dengan terlebih dahulu mewarnai DNA yang terdapat di dalam sel.
Pewarna yang dipakai
adalah zat fluorokrom yang dapat berikatan dengan DNA untai ganda, seperti DAPI
dan propidium iodide, Konten DNA sampel dibandingkan dengan konten DNA sel
normal menghasilkan indeks DNA.
Berbagai penelitian melaporkan
korelasi antara DNA ploidi dengan prognosis. Pada keganasan jaringan padat
dilaporkan bahwa peningkatan index DNA berbanding terbalik dengan ketahanan
hidup pasien kanker. Selain itu, analisis siklus sel juga dipakai untuk menilai
efektivitas obat antikanker yang menargetkan siklus sel. Oleh karenanya,
pemeriksaan ini dimanfaatkan dalam berbagai studi farmakologis untuk berbagai
obat antikanker.8,9
Deteksi Diferensiasi Sel dan
Sel Tumor yang Bersirkulasi (Circulating Tumor Cells)
Berbagai penelitian mengenai
kanker saat ini mengarah pada sel yang menginisiasi pertumbuhan sel. Sel ini
dikenal dengan cancer stem cell. Sebagaimana stem cell pada
umumnya cancer stem cell mempunyai kemampuan untuk memperbarui diri (self-
renewal) dan multipotensi. Oleh karena itu, cancer stem cell
dianggap berpotensi menumbuhkan tumor baru, baik di tempat asalnya maupun bermetastasis
jauh, serta memiliki kemampuan angiogenesis. Saat ini berbagai penanda cancer
stem cell telah dikembangkan, dan berbagai kit komersial telah tersedia,
misalnya CD24, CD44, dan CD133 ditambah berbagai penanda yang spesifik untuk
jaringan tertentu.8-11
Selain itu, pada sel kanker yang
berasal dari jaringan epitel, perubahan fenotipe jaringan epitel menjadi
mesenkim (epithelial to mesenchymal transition, EMT) dianggap merupakan
suatu tahap penting terjadinya metastasis. Pada EMT, sel epitel berubah
fenotipe menyerupai mesenkim yang ditandai dengan menurunnya kontak antar sel,
meningkatnya interaksi antara sel dengan matriks ekstraselular, yang berakibat
mudah lepasnya sel dari jaringan asal, dan mempermudah terjadinya metastasis.
EMT ini ditandai dengan berkurangnya ekspresi E cadherin, dan peningkatan
vimentin menggantikan cytokeratin.8
Selanjutnya, deteksi sel tumor
yang bersirkulasi (circulating tumor cells) terutama pada tumor yang
berasal dari epitel dapat merupakan penanda telah adanya mikrometastasis.
Cytokeratin umumnya dapat dipakai sebagai penanda CMC, misalnya pancytokeratin,
atau CK19 dipakai sebagai penanda pada kanker payudara.8,12,13
Deteksi Multidrug
Resistance (MDR)
Pemilihan agen kemoterapi
merupakan masalah utama dalam onkologi. Walaupun berbagai studi terapeutik multicenter
telah membuktikan efektivitas suatu terapi, namun variasi individu sangat
mempengaruhi keberhasilan terapi. Ekspresi berlebih P-glycoprotein (PGI) dan multidrug
resistance-associated protein (MRP) merupakan dua protein transmembran yang
paling berperan dalam MDR pada kanker. Kedua protein ini berfungsi sebagai
pompa yang membuang molekul kecil keluar dari sel. Oleh karena itu, pada over
ekspresi P-glycoprotein ditemukan resistensi terhadap colchicine, vinblastine,
doxorubicin, vinca alkaloids, etoposide, paclitaxel dan antikanker bermolekul
kecil lainnya. Sebagai protein transmembran, PGI dan MRP dapat dideteksi
menggunakan Flow cytometry.8,9
Deteksi Produk Fusi Gen Dengan Flow cytometry
Saat ini kelainan genetik semakin
banyak dijadikan dasar klasifikasi dan stratifikasi tatalaksana kanker,
terutama pada keganasan hematologi. Klasifikasi WHO 2008 untuk keganasan
hematologi tidak lagi berdasarkan morfologi dan immunophenotyping,
tetapi memakai kelainan genetik sebagai dasar klasifikasinya. Hal ini karena
keganasan dengan kelainan genetik yang sama, akan memberikan gambaran klinis
dan perangai yang serupa. Fusi gen adalah salah satu kelainan kromosom yang
sering ditemukan pada berbagai keganasan. Fusi gen akan ditranskripsi menjadi
RNA dan selanjutnya ditranslasi menjadi produk fusi protein. Kebanyakan fusi
gen ini berperan dalam patogenesis penyakit keganasan, dan berkorelasi dengan
prognosis.4,15
Fusi gen yang pertama kali
ditemukan pada pasien leukemia adalah kromosom Philadelphia yang terjadi akibat
translokasi (9;22) yang menghasilkan fusi gen BCR dan ABL1. Translokasi ini
dapat ditemukan pada pasien leukemia mielositik kronik dan sebagian leukemia
limfoblastik akut sel B. Selain itu fusi gen lain yang penting adalah fusi
PML-RARA yang terjadi akibat translokasi (15;17), dan ditemukan pada >95%
pasien leukemia promielositik akut.15
Selama ini deteksi kelainan
genetik tersebut dilakukan dengan karyotyping, FISH, atau PCR yang cukup
kompleks. Beberapa tahun terakhir, dikembangkan pemeriksaan protein produk fusi
gen berdasarkan Flow cytometry dengan immunobead assay. Sebagai
contoh adalah deteksi fusi protein bcr-abl. Protein produk fusi gen BCR-ABL
bermacam-macam tergantung dari letak titik potong pada gen BCR. Protein bcr
yang pertama kali ditemukan disebut major bcr (M-bcr) yang banyak ditemukan
pada pasien CML yang juga dikenal dengan BCR-ABL p210 fusion protein. Kemudian
ditemukan fragmen yang lebih pendek, yang disebut minor-bcr (m-bcr) yang sering
ditemukan pada ALL-B dewasa. Selanjutnya ditemukan varian lain dari protein ini
seperti m-bcr, v-bcr dan varian lain. Pemeriksaan PCR yang menggunakan primer,
umumnya hanya menargetan M-bcr dan m-bcr, sehingga protein bcr varian
seringkali lolos.15
Deteksi protein bcr-abl dengan immunobead assay menggunakan antibodi monoklonal terhadap protein bcr yang dilekatkan pada microbead, dan antibodi monoklonal terhadap protein abl yang berlabel fluorokrom (gambar 3). Sampel pemeriksaan adalah lisat sel, di mana protein bcr-abl dilepaskan dari sitoplasma. Pemeriksaan ini dilaporkan mampu mendeteksi protein bcr-abl dengan breakpoint p190, p210, p225, dan p230.
Gambar 3.
Deteksi fusi protein bcr-abl menggunakan immunobead assay
Antibodi monoklonal terhadap
protein bcr dilekatkan pada microbead, yang direaksikan dengan lisat sel.
Selanjutnya ditambahkan konjugat berupa antibodi monoklonal terhadap protein
abl yang berlabel fluorokrom. Kemudian kompleks ini deteksi menggunakan Flow
cytometry.15
Fusi protein penting lain adalah
protein PML-RARA. Antibodi monoklonal terhadap RARA-breakpoint dilekatkan pada
microbead. Selanjutnya ditambahkan konjugat berupa antibodi monoklonal terhadap
PML berlabel fluorokrom. Kompleks ini selanjutnya dianalisis menggunakan Flow cytometry.
Immunobead assay tersebut dilaporkan memiliki kesesuaian yang baik
dibandingkan metode sebelumnya pada cell line dan pasien yang telah
didiagnosis APL.15
Namun demikian, pemeriksaan
terhadap fusi protein tersebut dan fusi protein lain masih dalam taraf
penelitian dan belum tersedia secara komersial.
RINGKASAN
Flow cytometry merupakan
pemeriksaan terhadap suspensi sel tunggal yang menggunakan antibodi monoklonal
berlabel fluorokrom untuk mengenali ekspresi antigen spesifik dalam
mengkarakterisasi suatu suspensi sel heterogen. Pemeriksaan Flow cytometry
dapat dilakukan pada sampel darah, cairan tubuh, maupun jaringan padat.
Pemeriksaan Flow cytometry
mulai dipakai pada keganasan hematologi untuk membantu menegakkan diagnosis,
menentukan lini hematopoietik yang terlibat, terutama pada kasus yang sulit
dikenali secara morfologi seperti pada undifferentiated acute leukemia
dan mixed phenotype acute leukemia. Selain itu Flow cytometry
juga bermanfaat dalam mendeteksi MRD, menentukan prognosis, dan targeted
therapy. Aplikasi Flow cytometry pada tumor padat semakin
berkembang. Analisis DNA ploidi, siklus sel, diferensiasi sel dan deteksi tumor
sel yang bersirkulasi membantu menentukan prognosis dan mendeteksi metastasis
tumor padat. Selain itu, deteksi protein MDR bermanfaat untuk menentukan
strategi terapi.
Perkembangan terkini dalam
aplikasi Flow cytometry dengan memanfaatkan immunobeads untuk
mendeteksi protein produk fusi gen seperti BCR-ABL dan PML-RARA. Namun saat ini
pemeriksaan tersebut masih dalam tahap penelitian dan belum tersedia secara
komersial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Virgo PF, Gibbs GJ. Flow
cytometry in clinical pathology. Ann Clin Biochem 2012;49:17-28.
2. Principle of Flow cytometry
in Leach M, Drummond M, Doig A. Practical Flow cytometry in
Haematology Diagnosis 1" ed. Wiley- Blackwell 2013, Oxford.p.3-19
3. Normal blood and bone
marrow population. in Leach M. Drummond M, Doig A. Practical Flow
cytometry in Haematology Diagnosis 1 ed. Wiley-Blackwell 2013, Oxford.p.31-42
4. Acute leukemia. In
Leach M, Drummond M, Doig A. Practical Flow cytometry in Haematology
Diagnosis. 1st ed. Oxford: Wiley- Blackwell; 2013.p.43-99
5. Minimal residual disease.
In Leach M, Drummond M, Doig A Practical Flow cytometry in Haematology Diagnosis.
1st ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2013.p.184-201
6. Coustan-Smith E, Campana D. Immunologic
minimal residual disease detection in acute lymphoblastic leukemia: a
comparative approach to molecular testing. Best Pract Res Clin Haematol.
2010 Sep; 23(3): 347-58.
7. Miguel JFS, Ciudad J,
Vidriales MB, Orfao A, Lucio P, Porwit- McDonald A, et al. Immunophenotypical
detection of minimal residual disease in acute leukemia. Critical Reviews
in Oncology Hematology 32 (1999) 175-185.
8. Chang Q. Hedley D. Emerging
applications of Flow cytometry in solid tumor biology. Methods 2012
Jul;57(3):359-67.
9. Barlogie B, Raber MN, Schumman
J, Johnson TS, Drewinko B, Swartzendruber DE, et al. Flow cytometry in
clinical cancer research. Cancer res 1983;43:3982-97.
10. Sahlberg SH, Spiegelberg D,
Glimelius B, Stenerlöw B, Nestor M. Evaluation of cancer stem cell markers
CD133, CD44, CD24: association with AKT isoforms and radiation resistance in
colon cancer cells. PLoS One. 2014 Apr 23;9(4):e94621.
11. Medema JP. Cancer stem
cell: challenge ahead. Nature Cell Biology 2013;15:338-44.
12. Nugroho HA, Kurnia A, Albar
ZA, Wulandari D. Hubungan respons kemoterapi neoadjuvan kanker payudara stadium
lanjut local dengan hasil pengukuran circulating tumor cell menggunakan Flow
cytometry. Thesis. Program Pendidikan Bedah Onkologi Spesialis II, FKUI
2013.
13. Maruli H, Ramli M, Albar ZA,
Wulandari D. Hubungan metastasis mikro di sumsum tulang dengan faktor
klinikopatologis kanker payudara. Thesis. Program Pendidikan Bedah Onkologi
Spesialis II, FKUI 2014.
14. Nature Biotechnology. Cancer
multidrug resistance. Available at:
http://www.nature.com/nbt/journal/v18/n10s/full/nbt1000_IT18. html#References
Comments
Post a Comment