Flow Cytometry Pada Keganasan (Dewi Wulandari)


 FLOW CYTOMETRY PADA KEGANASAN

Dewi Wulandari

Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM

 

ABSTRAK

Flow cytometry merupakan suatu teknik analisis kuantitatif yang berdasarkan prinsip pemeriksaan imunofluoresensi terhadap suspensi sel tunggal. Struktur eksternal dan internal sel dapat dikenali menggunakan antibodi monoklonal yang dikonjugasi dengan zat fluorokrom. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser akan membiaskan berkas sinar tersebut, dan fluorokrom yang melekat pada sel akan memendarkan sinar emisi dengan panjang gelombang tertentu. Oleh karena itu, karakteristik sel dapat dikenali berdasarkan pola biasan cahaya yang mencerminkan ukuran dan kompleksitas struktur sel, serta pendaran fluoresensi yang menunjukkan adanya ekspresi antigen tertentu. Aplikasi Flow cytometry dalam bidang onkologi yang paling dikenal untuk keganasan hematologi. Flow cytometry dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis, pemantauan terapi, dan deteksi minimal residual disease pada leukemia akut. Selain itu, Flow cytometry juga dimanfaatkan untuk kelainan mieloproliferatif dan/atau limfoproliferatif kronik. Sedangkan untuk tumor padat, Flow cytometry lebih banyak dimanfaatkan untuk mengetahui perangai sel kanker dan prognosis, antara lain analisis ploidi DNA, siklus sel, dan apoptosis. Selain itu, Flow cytometry dapat dipakai untuk identifikasi molekul target untuk targeted therapy, dan deteksi multi-drug resistance pada berbagai keganasan.

PENDAHULUAN

Flow cytometry merupakan suatu teknik kuantifikasi dan analisis sel. Teknik Flow cytometry mulai dikembangkan pada tahun 1970an dan berkembang pesat sejalan dengan perkembangan di bidang hematologi dan imunologi. Di awal perkembangannya, teknik Flow cytometry lebih banyak dipakai dalam berbagai riset. Aplikasi klinis pertama yang diterima secara luas adalah pemeriksaan limfosit subset sebagai bagian dari penatalaksanaan pasien terinfeksi HIV pada tahun 1980an. Selanjutnya dikembangkan pemeriksaan untuk berbagai keganasan hematologi.1.2

Flow cytometry adalah suatu teknik pemeriksaan berbasis ikatan antigen-antibodi. Antibodi monoklonal yang berlabel fluorokrom dipakai untuk mengenali antigen spesifik yang diekspresikan oleh sel. Berbeda dengan imunohistokimia yang berbasis jaringan, pemeriksaan Flow cytometry berbasis pada aliran sel tunggal (single cell flow). Keuntungan teknik ini dibandingkan imunohistokimia adalah kemampuannya menganalisis hingga ribuan sel per detik, dan penggunaan beberapa marker sekaligus.1,2 Aplikasi Flow cytometry dalam bidang onkologi, dimulai dengan aplikasi pada keganasan hematologi. Immunophenotyping sudah dipakai secara luas untuk diagnostik, penentuan lineage  pada leukemia akut, penentuan prognosis, deteksi minimal residual disease (MRD), dan targeted therapy. Sedangkan aplikasi pada keganasan non hematologi sebagian besar masih terbatas pada penelitian. Berbagai pemeriksaan dengan Flow cytometry pada tumor non hematologi antara lain analisis DNA ploidi dan siklus sel, deteksi circulating tumor cell untuk mendeteksi mikrometastasis, dan analisis multi-drug resistance.

Perkembangan terkini aplikasi Flow cytometry di bidang onkologi adalah deteksi produk dari fusi gen seperti BCR-ABL dan PML-RARA pada berbagai keganasan hematologi. Namun saat ini masih terbatas dalam penelitian, dan antibodi monoklonal tersebut belum tersedia secara komersial.8

Pada makalah ini akan dibahas mengenai prinsip pemeriksaan Flow cytometry, aplikasinya pada keganasan hematologi, dan non-hematologi, serta perkembangan terkini dalam deteksi produk fusi gen.

PRINSIP DASAR FLOW CYTOMETRY

Pemeriksaan Flow cytometry berdasarkan ikatan antibodi berlabel fluorokrom pada antigen spesifik yang diekspresikan oleh suatu sel untuk mengenali karakteristik sel tersebut dalam suatu suspensi sel yang heterogen. Jika sampel pemeriksaan berupa jaringan padat harus terlebih dahulu dibuat menjadi suspensi sel tunggal. Selanjutnya pemeriksaan Flow cytometry dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu preparasi sampel, akuisisi, dan analisis.1,2

Tahap preparasi sampel sebaiknya dilakukan pada sampel segar, Sampel terbaik adalah sampel yang kurang dari 4 jam pasca pengambilan sampel. Sampel darah memerlukan antikoagulan. Antikoagulan EDTA dan heparin merupakan anti koagulan yang paling sering digunakan. Jika sampel berupa jaringan padat, tidak disarankan memakai formalin atau alkohol absolut sebagai pengawet. Hal ini akan mempengaruhi struktur antigen di permukaan sel, sehingga dapat mempengaruhi ikatan antigen oleh antibodi monoklonal berlabel fluorokrom. Sampel jaringan dapat dimasukkan ke dalam salin fisiologis atau buffer PBS, dan jika akan dilakukan penundaan sampel jaringan sebaiknya dimasukkan ke dalam media kultur sel untuk menjaga viabilitas sel.1,2

Pada tahap preparasi sampel ini, antibodi monoklonal berlabel fluorokrom yang ditambahkan ke dalam suspensi sel akan berikatan dengan antigen spesifik yang menjadi targetnya. Jika antigen yang menjadi target merupakan antigen intrasel, membran sel perlu dipermeabilisasi agar antibodi monoklonal dapat mengakses antigen intrasel tersebut. Selanjutnya, apabila sampel banyak mengandung eritrosit, misalnya sampel darah, dilakukan lisis eritrosit dan fiksasi ikatan antigen-antibodi.1,2

Tahap selanjutnya adalah tahap akuisisi. Pada tahap ini suspensi sel tunggal dialirkan melalui berkas sinar laser. Sistem fluidik dengan hydrodynamic focusing akan mengalirkan sel pada satu garis pada saat melalui berkas sinar laser. Pada titik yang disebut interrogation point ini, sistem optik alat yang terdiri dari seperangkat cermin, filter, dan detektor cahaya. Detektor forward scattered light (FSC) yang terletak segaris dengan laser sumber cahaya, akan menangkap banyaknya cahaya yang diteruskan pada saat sel melewati interrogation point. Banyaknya cahaya yang diteruskan ini mencerminkan ukuran sel. Detektor side scattered light (SSC) yang terletak pada sudut antara 10-90° dari sumber cahaya, akan menangkap sinar yang dibiaskan pada saat sel melewati interrogation point. Banyaknya sinyal yang ditangkap oleh detektor SSC mencerminkan kompleksitas internal sel. Semakin kompleks struktur internal suatu sel, makin tinggi sinyal yang ditangkap oleh detektor SSC. (Gambar 1).1,2

Gambar 1. Forward scattered light detector (FSC) untuk menentukan ukuran relatif sel, dan Side Scattered detector yang mencerminkan kompleksitas relatif suatu sel pada saat melewati interrogation point.1,2

Seperangkat sistem optik lainnya, berupa filter dan detektor cahaya dengan rentang deteksi tertentu. Setiap detektor hanya mampu menangkap panjang gelombang emisi fluoresensi tertentu yang dipancarkan oleh fluorokrom pada saat tereksitasi oleh berkas sinar laser. Perangkat Flow cytometry yang ada saat ini mempunyai kemampuan mendeteksi 2-12 fluoresensi sekaligus. Selain itu, detektor ini mampu membedakan populasi sel berdasarkan intensitas relatif fluoresensi yang dipancarkan sebagai satu sel. Oleh karenanya selain memperoleh karakteristik dari setiap sel, dapat juga diperoleh hitung relatif sel.1,2

Gambar 2. Diferensiasi sel berdasarkan intensitas relatif fluoresensi.1,2

 

APLIKASI FLOW CYTOMETRY PADA KEGANASAN HEMATOLOGI

Diagnostik

Diagnosis dan klasifikasi keganasan hematologi, terutama leukemia akut awalnya didasarkan pada morfologi dan pewarnaan sitokimia pada sediaan hapus atau biopsi sumsum tulang. Namun sejalan dengan perkembangan di bidang hematologi klinik, diagnosis berdasarkan morfologi sel dan pewarnaan sitokimia ini tidak selalu memuaskan. Kedua metode ini tidak mampu mendeteksi keganasan yang melibatkan lebih dari satu lini hematopoietik dan bentuk campuran. Penggunaan multi-color Flow cytometry mampu lebih baik mengidentifikasi populasi sel yang mengekspresikan lebih dari satu penanda lini hematologik, dan dengan menggunakan panel antibodi monoklonal mampu membantu identifikasi pada kasus unidentified acute leukemia yang sulit dikenali secara morfologik.1,3,4

Diagnosis leukemia akut ditegakkan berdasarkan ditemukannya sel blas melebihi 20% di sumsum tulang dan darah tepi. Flow cytometry membantu membedakan akumulasi sel blas pada leukemia akut dari berbagai kondisi sumsum tulang reaktif lain seperti reaksi leukemoid dan regenerasi sumsum tulang. Populasi sel blas dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa karakteristik, antara lain populasi dengan sinyal FSC sedang-tinggi dan SSC rendah, atau populasi dengan ekspresi CD45 lemah dan SSC lemah, atau populasi yang mengekspresikan penanda imaturitas misalnya CD34. Selanjutnya penentuan lini hematopoietik dari blas leukemik ditentukan oleh ekspresi penanda yang bersifat lineage  assignment.3,4

Lineage  assignment untuk lini mieloid berturut-turut dari yang paling spesifik adalah MPO, CD117, CD13, dan CD33. Sedangkan untuk lini limfoid B tidak ada ekspresi yang benar-benar dapat dijadikan lineage  assignment. CD19 yang dianggap paling spesifik untuk sel B, ternyata juga sering ditemukan pada berbagai kasus AML. Sebaliknya, pada lini limfoid T ekspresi CD3 merupakan lineage  assignment yang cukup spesifik, baik ekspresi ekstraselular maupun intraselular.3, 4

Prognostik

Ekspresi aberans sering kali dianggap sebagai faktor yang memperburuk prognosis. Ekspresi aberans meliputi ekspresi berlebih antigen yang seharusnya bukan merupakan bagian dari kelompok antigen dari lini terkait, misalnya CD2 yang merupakan antigen pada lini limfoid T diekspresikan oleh blas AML. Sebaliknya, kehilangan ekspresi antigen yang seharusnya merupakan bagian dari lineage assignment, misalnya MPO negatif pada AML. Umumnya leukemia akut dengan keterlibatan banyak lini (mixed phenotype acute leukemia) dan leukemia akut yang sdak mengekspresikan lineage assignment tertentu (unclassified acute leukemia) mempunyai prognosis yang lebih buruk.3

Deteksi Minimal Residual Disease

Deteksi minimal residual disease (MRD) merupakan salah satu hal penting dalam tatalaksana leukemia akut. Status remisi pasca terapi pada limfoma ditentukan gambaran resolusi pada kelenjar getah bening, sedangkan pada leukemia akut ditentukan dari terbebasnya sumsum tulang dari blas leukemik. Secara umum remisi ditetapkan jika ditemukan sel blas <5% di sumsum tulang. Pemeriksaan mikroskopik mampu mendeteksi apabila terdapat 1 sel leukemik di antara 20-30 sel, sedangkan dengan Flow cytometry 1 sel leukemik di antara 10.000 sel normal.5,6 Deteksi MRD pada jumlah sel blas yang sedikit merupakan tantangan tersendiri. Dalam hal ini sangat tergantung pada gambaran fenotipik pada saat diagnosis yang dikenal dengan leukemia-associated immunophenotype (LAIP). Namun untuk mendapatkan LAIP yang mencukupi untuk deteksi MRD, diperlukan tambahan antibodi monoklonal melebihi lineage assignment, serta penggunaan 4 atau lebih fluorokrom secara simultan akan mempermudah.5,6

Targeted therapy

Perkembangan terapi keganasan saat ini lebih bersifat individual. Penggunaan antibodi monoklonal sebagai salah satu metode terapi saat ini berkembang cukup pesat dan memberikan hasil yang lebih baik dengan efek samping minimal. Saat ini targeted therapy yang secara komersial tersedia untuk keganasan hematologi antara lain: Rituximab, antibodi monoklonal terhadap CD20 pada sel B, Gemtuzumab, antibodi monoklonal terhadap CD33 pada sel mieloid, dan Alemtuzumab, antibodi monoklonal terhadap CD52 pada sel limfoid. Antibodi monoklonal ini akan menargetkan protein tersebut pada sel kanker, dan selanjutnya sel kanker akan dibersihkan oleh sistem imun.¹

APLIKASI FLOW CYTOMETRY PADA KEGANASAN NON- HEMATOLOGI

Analisis DNA Ploidi dan Siklus Sel Kanker merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada gen. Kebanyakan tumor padat pada manusia aneuploidy dan menunjukkan puncak G1 lebih tinggi daripada diploid normal. Oleh karena itu, pengukuran konten DNA yang dapat memberikan gambaran DNA ploidi dapat membedakan antara sel kanker dan sel normal, dan memberikan gambaran umum adanya perubahan gross pada kromosom. Selain itu juga dapat dianalisis siklus sel.8, 9

Analisis konten DNA dan siklus sel dilakukan dengan terlebih dahulu mewarnai DNA yang terdapat di dalam sel. Pewarna yang dipakai adalah zat fluorokrom yang dapat berikatan dengan DNA untai ganda, seperti DAPI dan propidium iodide, Konten DNA sampel dibandingkan dengan konten DNA sel normal menghasilkan indeks DNA.

Berbagai penelitian melaporkan korelasi antara DNA ploidi dengan prognosis. Pada keganasan jaringan padat dilaporkan bahwa peningkatan index DNA berbanding terbalik dengan ketahanan hidup pasien kanker. Selain itu, analisis siklus sel juga dipakai untuk menilai efektivitas obat antikanker yang menargetkan siklus sel. Oleh karenanya, pemeriksaan ini dimanfaatkan dalam berbagai studi farmakologis untuk berbagai obat antikanker.8,9

Deteksi Diferensiasi Sel dan Sel Tumor yang Bersirkulasi (Circulating Tumor Cells)

Berbagai penelitian mengenai kanker saat ini mengarah pada sel yang menginisiasi pertumbuhan sel. Sel ini dikenal dengan cancer stem cell. Sebagaimana stem cell pada umumnya cancer stem cell mempunyai kemampuan untuk memperbarui diri (self- renewal) dan multipotensi. Oleh karena itu, cancer stem cell dianggap berpotensi menumbuhkan tumor baru, baik di tempat asalnya maupun bermetastasis jauh, serta memiliki kemampuan angiogenesis. Saat ini berbagai penanda cancer stem cell telah dikembangkan, dan berbagai kit komersial telah tersedia, misalnya CD24, CD44, dan CD133 ditambah berbagai penanda yang spesifik untuk jaringan tertentu.8-11

Selain itu, pada sel kanker yang berasal dari jaringan epitel, perubahan fenotipe jaringan epitel menjadi mesenkim (epithelial to mesenchymal transition, EMT) dianggap merupakan suatu tahap penting terjadinya metastasis. Pada EMT, sel epitel berubah fenotipe menyerupai mesenkim yang ditandai dengan menurunnya kontak antar sel, meningkatnya interaksi antara sel dengan matriks ekstraselular, yang berakibat mudah lepasnya sel dari jaringan asal, dan mempermudah terjadinya metastasis. EMT ini ditandai dengan berkurangnya ekspresi E cadherin, dan peningkatan vimentin menggantikan cytokeratin.8

Selanjutnya, deteksi sel tumor yang bersirkulasi (circulating tumor cells) terutama pada tumor yang berasal dari epitel dapat merupakan penanda telah adanya mikrometastasis. Cytokeratin umumnya dapat dipakai sebagai penanda CMC, misalnya pancytokeratin, atau CK19 dipakai sebagai penanda pada kanker payudara.8,12,13

Deteksi Multidrug Resistance (MDR)

Pemilihan agen kemoterapi merupakan masalah utama dalam onkologi. Walaupun berbagai studi terapeutik multicenter telah membuktikan efektivitas suatu terapi, namun variasi individu sangat mempengaruhi keberhasilan terapi. Ekspresi berlebih P-glycoprotein (PGI) dan multidrug resistance-associated protein (MRP) merupakan dua protein transmembran yang paling berperan dalam MDR pada kanker. Kedua protein ini berfungsi sebagai pompa yang membuang molekul kecil keluar dari sel. Oleh karena itu, pada over ekspresi P-glycoprotein ditemukan resistensi terhadap colchicine, vinblastine, doxorubicin, vinca alkaloids, etoposide, paclitaxel dan antikanker bermolekul kecil lainnya. Sebagai protein transmembran, PGI dan MRP dapat dideteksi menggunakan Flow cytometry.8,9

Deteksi Produk Fusi Gen Dengan Flow cytometry

Saat ini kelainan genetik semakin banyak dijadikan dasar klasifikasi dan stratifikasi tatalaksana kanker, terutama pada keganasan hematologi. Klasifikasi WHO 2008 untuk keganasan hematologi tidak lagi berdasarkan morfologi dan immunophenotyping, tetapi memakai kelainan genetik sebagai dasar klasifikasinya. Hal ini karena keganasan dengan kelainan genetik yang sama, akan memberikan gambaran klinis dan perangai yang serupa. Fusi gen adalah salah satu kelainan kromosom yang sering ditemukan pada berbagai keganasan. Fusi gen akan ditranskripsi menjadi RNA dan selanjutnya ditranslasi menjadi produk fusi protein. Kebanyakan fusi gen ini berperan dalam patogenesis penyakit keganasan, dan berkorelasi dengan prognosis.4,15

Fusi gen yang pertama kali ditemukan pada pasien leukemia adalah kromosom Philadelphia yang terjadi akibat translokasi (9;22) yang menghasilkan fusi gen BCR dan ABL1. Translokasi ini dapat ditemukan pada pasien leukemia mielositik kronik dan sebagian leukemia limfoblastik akut sel B. Selain itu fusi gen lain yang penting adalah fusi PML-RARA yang terjadi akibat translokasi (15;17), dan ditemukan pada >95% pasien leukemia promielositik akut.15

Selama ini deteksi kelainan genetik tersebut dilakukan dengan karyotyping, FISH, atau PCR yang cukup kompleks. Beberapa tahun terakhir, dikembangkan pemeriksaan protein produk fusi gen berdasarkan Flow cytometry dengan immunobead assay. Sebagai contoh adalah deteksi fusi protein bcr-abl. Protein produk fusi gen BCR-ABL bermacam-macam tergantung dari letak titik potong pada gen BCR. Protein bcr yang pertama kali ditemukan disebut major bcr (M-bcr) yang banyak ditemukan pada pasien CML yang juga dikenal dengan BCR-ABL p210 fusion protein. Kemudian ditemukan fragmen yang lebih pendek, yang disebut minor-bcr (m-bcr) yang sering ditemukan pada ALL-B dewasa. Selanjutnya ditemukan varian lain dari protein ini seperti m-bcr, v-bcr dan varian lain. Pemeriksaan PCR yang menggunakan primer, umumnya hanya menargetan M-bcr dan m-bcr, sehingga protein bcr varian seringkali lolos.15

Deteksi protein bcr-abl dengan immunobead assay menggunakan antibodi monoklonal terhadap protein bcr yang dilekatkan pada microbead, dan antibodi monoklonal terhadap protein abl yang berlabel fluorokrom (gambar 3). Sampel pemeriksaan adalah lisat sel, di mana protein bcr-abl dilepaskan dari sitoplasma. Pemeriksaan ini dilaporkan mampu mendeteksi protein bcr-abl dengan breakpoint p190, p210, p225, dan p230.

Gambar 3. Deteksi fusi protein bcr-abl menggunakan immunobead assay

 

Antibodi monoklonal terhadap protein bcr dilekatkan pada microbead, yang direaksikan dengan lisat sel. Selanjutnya ditambahkan konjugat berupa antibodi monoklonal terhadap protein abl yang berlabel fluorokrom. Kemudian kompleks ini deteksi menggunakan Flow cytometry.15

Fusi protein penting lain adalah protein PML-RARA. Antibodi monoklonal terhadap RARA-breakpoint dilekatkan pada microbead. Selanjutnya ditambahkan konjugat berupa antibodi monoklonal terhadap PML berlabel fluorokrom. Kompleks ini selanjutnya dianalisis menggunakan Flow cytometry. Immunobead assay tersebut dilaporkan memiliki kesesuaian yang baik dibandingkan metode sebelumnya pada cell line dan pasien yang telah didiagnosis APL.15

Namun demikian, pemeriksaan terhadap fusi protein tersebut dan fusi protein lain masih dalam taraf penelitian dan belum tersedia secara komersial.

RINGKASAN

Flow cytometry merupakan pemeriksaan terhadap suspensi sel tunggal yang menggunakan antibodi monoklonal berlabel fluorokrom untuk mengenali ekspresi antigen spesifik dalam mengkarakterisasi suatu suspensi sel heterogen. Pemeriksaan Flow cytometry dapat dilakukan pada sampel darah, cairan tubuh, maupun jaringan padat.

Pemeriksaan Flow cytometry mulai dipakai pada keganasan hematologi untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan lini hematopoietik yang terlibat, terutama pada kasus yang sulit dikenali secara morfologi seperti pada undifferentiated acute leukemia dan mixed phenotype acute leukemia. Selain itu Flow cytometry juga bermanfaat dalam mendeteksi MRD, menentukan prognosis, dan targeted therapy. Aplikasi Flow cytometry pada tumor padat semakin berkembang. Analisis DNA ploidi, siklus sel, diferensiasi sel dan deteksi tumor sel yang bersirkulasi membantu menentukan prognosis dan mendeteksi metastasis tumor padat. Selain itu, deteksi protein MDR bermanfaat untuk menentukan strategi terapi.

Perkembangan terkini dalam aplikasi Flow cytometry dengan memanfaatkan immunobeads untuk mendeteksi protein produk fusi gen seperti BCR-ABL dan PML-RARA. Namun saat ini pemeriksaan tersebut masih dalam tahap penelitian dan belum tersedia secara komersial.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Virgo PF, Gibbs GJ. Flow cytometry in clinical pathology. Ann Clin Biochem 2012;49:17-28.

2. Principle of Flow cytometry in Leach M, Drummond M, Doig A. Practical Flow cytometry in Haematology Diagnosis 1" ed. Wiley- Blackwell 2013, Oxford.p.3-19

3. Normal blood and bone marrow population. in Leach M. Drummond M, Doig A. Practical Flow cytometry in Haematology Diagnosis 1 ed. Wiley-Blackwell 2013, Oxford.p.31-42

4. Acute leukemia. In Leach M, Drummond M, Doig A. Practical Flow cytometry in Haematology Diagnosis. 1st ed. Oxford: Wiley- Blackwell; 2013.p.43-99

5. Minimal residual disease. In Leach M, Drummond M, Doig A Practical Flow cytometry in Haematology Diagnosis. 1st ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2013.p.184-201

6. Coustan-Smith E, Campana D. Immunologic minimal residual disease detection in acute lymphoblastic leukemia: a comparative approach to molecular testing. Best Pract Res Clin Haematol. 2010 Sep; 23(3): 347-58.

7. Miguel JFS, Ciudad J, Vidriales MB, Orfao A, Lucio P, Porwit- McDonald A, et al. Immunophenotypical detection of minimal residual disease in acute leukemia. Critical Reviews in Oncology Hematology 32 (1999) 175-185.

8. Chang Q. Hedley D. Emerging applications of Flow cytometry in solid tumor biology. Methods 2012 Jul;57(3):359-67.

9. Barlogie B, Raber MN, Schumman J, Johnson TS, Drewinko B, Swartzendruber DE, et al. Flow cytometry in clinical cancer research. Cancer res 1983;43:3982-97.

10. Sahlberg SH, Spiegelberg D, Glimelius B, Stenerlöw B, Nestor M. Evaluation of cancer stem cell markers CD133, CD44, CD24: association with AKT isoforms and radiation resistance in colon cancer cells. PLoS One. 2014 Apr 23;9(4):e94621.

11. Medema JP. Cancer stem cell: challenge ahead. Nature Cell Biology 2013;15:338-44.

12. Nugroho HA, Kurnia A, Albar ZA, Wulandari D. Hubungan respons kemoterapi neoadjuvan kanker payudara stadium lanjut local dengan hasil pengukuran circulating tumor cell menggunakan Flow cytometry. Thesis. Program Pendidikan Bedah Onkologi Spesialis II, FKUI 2013.

13. Maruli H, Ramli M, Albar ZA, Wulandari D. Hubungan metastasis mikro di sumsum tulang dengan faktor klinikopatologis kanker payudara. Thesis. Program Pendidikan Bedah Onkologi Spesialis II, FKUI 2014.

14. Nature Biotechnology. Cancer multidrug resistance. Available at: http://www.nature.com/nbt/journal/v18/n10s/full/nbt1000_IT18. html#References


15. Dekking E, van der Velden VHJ, Bottcher S, Bruggemann M, Sonneveld E, Koning-Goedheer A. et al. Detection of fusion gene at the protein level in leukemia patients via the flow cytometric immunobead assay. Best Pract Res Clin Haematol 2010 Sep:23(3):333-45.


Comments

Popular posts from this blog

Genetika Kanker (Ninik Sukartini)

Klasifikasi dan Diagnosis Leukemia Mieloblastik Akut (Riadi Wirawan)