Immunophenotyping pada Leukemia Mieloblastik Akut (Dewi Wulandari)
IMMUNOPHENOTYPING
PADA LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
Dewi Wulandari
Departemen Patologi
Klinik FKUI-RSCM
ABSTRAK
Diagnosis dan penatalaksanaan
leukemia tergantung pada deteksi populasi sel leukemia dan identifikasi dari lineage
hematopoiesis di mana populasi tersebut berasal. Saat ini terapi keganasan
termasuk leukemia berkembang pesat dan menjurus pada targeted therapy.
Oleh karena itu, diperlukan kemampuan diagnostik yang semakin teliti dalam
mengidentifikasi fenotipe populasi sel leukemia. Diagnosis leukemia ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan sitomorfologi dan sitokimiawi, immunophenotyping,
imunogenetika, dan sitogenetika. Sitomorfologi merupakan pemeriksaan lini
pertama dalam penegakan diagnosis leukemia. Umumnya pemeriksaan sitomorfologi
tidak mampu mengidentifikasi subset dari populasi sel leukemia yang penting
secara klinis. Immunophenotyping adalah teknik untuk mengidentifikasi fenotipe
suatu populasi sel berdasarkan ikatan antigen-antibodi. Immunophenotyping
pada leukemia akut ditujukan untuk mendeteksi adanya populasi abnormal sel
hematopoietik dalam darah tepi maupun sumsum tulang, untuk diidentifikasi
fenotipnya, dan diinterpretasikan dalam konteks morfologi. Identifikasi fenotipe
secara immunophenotyping menggunakan flowcytometry digunakan
dalam penegakan diagnosis leukemia akut, identifikasi penanda prognostik,
pemantauan terapi, deteksi minimal residual disease, dan identifikasi
kekambuhan (relaps). Hampir tidak ada antigen leukosit yang lineage-specific,
namun penggunaan panel antibodi monoklonal dapat lebih mengarahkan identifikasi
lineage sel leukemia. Panel dasar yang hanya terdiri dari beberapa
penanda utama saja cukup untuk penentuan Iineage pada hampir
semua kasus leukemia. Panel yang lebih ekstensif memberikan informasi lebih
mengenai tahap diferensiasi, menilai berbagai faktor prognostik, dan menentukan
klonalitas. Identifikasi leukemia-associated phenotype dapat dipakai
untuk pemantauan minimal residual disease selama terapi. Adanya sel yang
mengekspresikan fenotipe tersebut pada pasien yang berada dalam fase remisi
menunjukkan risiko kekambuhan yang lebih besar.
PENDAHULUAN
Diagnosis dan penatalaksanaan
leukemia akut sangat tergantung pada deteksi sel leukemik dan identifikasi lineage
hematopoietik asal sel leukemik tersebut. Diagnosis leukemia ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan sitomorfologi, sitokimia, sitogenetika, dan immunophenotyping. Pemeriksaan
sitomorfologi darah tepi atau sumsum tulang dengan pewarnaan May
Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa masih merupakan pemeriksaan lini pertama
dalam identifikasi sel leukemik. Berdasarkan pemeriksaan sitomorfologi dan sitokimia,
leukemia akut dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi
French-American-British (FAB) group. Ada kalanya sulit untuk identifikasi lineage
hematopoietik asal sel leukemik tersebut, dan identifikasi jika >1 lineage
yang terlibat. Selain itu, pemantauan dan identifikasi minimal residual
disease hampir tidak mungkin di- lakukan dengan pemeriksaan sitomorfologi.
Oleh karena itu, berbagai metode pemeriksaan dikembangkan untuk identifikasi
dan kuantifikasi sel leukemik sejalan dengan pesatnya perkembangan dalam
modalitas terapi keganasan termasuk leukemia akut. 1,2,3
Pemeriksaan immunophenotyping
dilakukan berdasarkan penggunaan antibodi monoklonal untuk identifikasi suatu
populasi sel. Saat ini telah dikembangkan ratusan antibodi monoklonal terhadap
antigen diferensiasi leukosit yang dikenal sebagai Cluster of
Differentiation (CD). Pola ekspresi dari CD tersebut membantu dalam
penentuan lineage sel leukemik, identifikasi leukemia bifenotipik,
klasifikasi leukemia akut, dan ekspresi imunofenotip abnormal dalam pemantauan pasien
termasuk identifikasi minimal residual disease dan kekambuhan. Tidak ada
satu CD yang spesifik untuk 1 lineage hematopoietik, maka dalam
pemeriksaan immunophenotyping digunakan panel yang terdiri dari beberapa
antibodi monoklonal.4
Klasifikasi FAB membedakan
leukemia akut menjadi leukemia limfoblastik akut dan leukemia mieloblastik
akut. Leukemia mieloblastik akut dikelompokkan lagi menjadi mieloblastik,
monosítik, eritroid, dan megakariositik. Sejak 2002, kelompok studi WHO
mempublikasikan sistem klasifikasi baru dengan menambahkan pemeriksaan
sitogenetika, namun karena keterbatasan fasilitas sitogenetika di Indonesia
klasifikasi FAB masih tetap dipakai. Makalah ini akan membahas imunofenotip
leukemia mieloblastik akut berdasarkan FAB dengan memasukkan beberapa hal dari
klasifikasi WHO.5,6
IMUNOFENOTIP DAN MATURASI LINEAGE
MIELOID
Sel hematopoietik dari lineage
mieloid akan berkembang menjadi sel yang terlibat dalam sistem imun
alamiah. Sel ini tidak mempunyai komposisi reseptor yang serumit sel lineage
limfoid, namun mempunyai kemampuan bereaksi secara cepat terhadap patogen
dan menghancurkannya melalui proses fagositosis. Oleh karena itu, komponen yang
terkait fungsi tersebut dapat digunakan sebagai antigen diferensiasi lineage
mieloid.2 Secara skematik ekspresi antigen diferensiasi pada
tahap maturasi lineage mieloid.
Antigen diferensiasi yang paling
dini muncul pada sel induk (stem cell) adalah CD34 dan molekul MHC kelas
II DR. Pada sel induk totipoten yang lebih dini, ditemukan CD34'/DR. Ekspresi
DR dihubungkan dengan interaksi antara sel dengan stroma sumsum tulang.2,7,8
Mieloperoksidase merupakan enzim
sitoplasma yang tersimpan dalam fagosom dan berperan dalam pembentukan hidrogen
peroksida. Enzim ini diekspresikan pada berbagai tingkat pada hampir semua sel
mieloid. Ekspresi MPO merupakan penanda paling dini yang menunjukkan sel induk
CD34/DR akan berkembang menjadi lineage mieloid. Enzim lain seperti
lactoferin dan lisozyme juga merupakan penanda lineage mieloid, tetapi
baru diekspresikan pada tahap pematangan lebih lanjut.2
CD117 merupakan reseptor stem
cell factor (SCF) yang dikode oleh gen c-kit. CD117 juga merupakan
imunoglobulin super family (IgSF) yang mempunyai 4 domain ekstraseluler
dan bagian intraselular merupakan suatu domain tirosin kinase. Bersama dengan
CD13 dan CD33, CD117 dianggap sebagai penanda dini perkembangan lineage mieloid,
yang diekspresikan pada permukaan sel mieloblas dengan kombinasi yang
bervariasi. Ekspresi CD117 akan menghilang seiring dengan maturasi sel blas tersebut.
Kemungkinan hal ini berkaitan dengan fungsi CD117 sebagai reseptor SCF. 2,7,8
CD13 merupakan suatu
ektopeptidase yang mirip dengan CD10. CD13 mempunyai struktur ekstraselular
berupa homodimer yang terdiri dari 2 domain enzimatik. CD13 juga diekspresikan
secara kuat oleh enterosit dan sel epitel tubular ginjal.2
CD33 adalah suatu homodimer yang
merupakan anggota dari imunoglobulin super family (IgSF), dengan 2
domain ekstraseluler pada setiap monomernya. CD33 merupakan molekul adhesi yang berperan dalam interaksi
antarsel.2
CD14 merupakan bagian dari
reseptor lipopolisakarida (LPS). Molekulnya terdiri dari struktur ekstraselular
yang terkait pada permukaan sel melalui suatu angkur glycerophosphatidil
inositol (GPI). CD14 dapat berikatan dengan LPS bebas maupun yang terikat
protein. Selanjutnya CD14 akan berikatan dengan toll-like receptor
(TLR), terutama TLR4 yang akan merangsang aktivasi, fagositosis, dan sekresi
sitokin proinflamasi. CD14 merupakan molekul yang secara spesifik diekspresikan
oleh monosit. 2,7,8
CD15 dan CD65, merupakan motif
karbohidrat yang dapat berikatan dengan berbagai protein. CD15 dikenal sebagai
antigen Lewis x. CD15 yang terikat CD11b diketahui sebagai ligan bagi antigen
diferensiasi sel dendritik DC-SIGN. CD15 dan CD65 dianggap sebagai penanda
karakteristik bagi neutrofil.2,7
Sel mieloid juga mengekspresikan
reseptor opsonisasi untuk memfasilitasi fagositosis, yaitu reseptor
imunoglobulin dan reseptor fraksi komplemen. Famili reseptor Fc untuk IgG
dibentuk oleh 3 molekul IgSF yaitu CD16, CD32, dan CD64, yang dapat membentuk
berbagai isoform. Struktur ini akan mengenali dan mengikat IgG yang telah
terikat dalam suatu kompleks antigen-antibodi, baik dalam bentuk terlarut
maupun pada permukaan sel target. Sekelompok reseptor komplemen juga dipakai
sel mieloid untuk mengikat partikel yang teropsonisasi atau kompleks imun yang
telah mulai mengaktivasi kaskade komplemen.
CD35 disebut juga CR1 (complement
receptor 1), merupakan bagian dari kelompok regulator aktivasi komplemen,
yang akan mengikat C3b, C4b, dan iC3b.2 Integrin yang terdiri dari
CD11b/CD18 dan CD11c/CD18 juga merupakan reseptor komplemen, yaitu CR3 dan CR4.
Molekul ini berfungsi sebagai molekul adhesi yang berperan dalam mobilisasi sel
mieloid ke tempat inflamasi. CD36 merupakan reseptor trombospondin yang terdiri
dari rantai tunggal polipeptida. Molekul ini akan mengikat kolagen dan low
density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi.2
Dua sel lain yang lebih jarang
menjadi leukemia, dan dalam klasifikasi FAB dimasukkan dalam kategori leukemia
mieloblastik akut adalah eritroblas dan megakarioblas. Kedua sel ini tidak
mengekspresikan MPO, tetapi lebih dini mengekspresikan antigen diferensiasi.
Antigen diferensiasi yang paling karakteristik untuk eritroblas adalah CD36 dan
glycophorin. Sedangkan megakariosit mengekspresikan integrin CD41, CD61 dan
anggota CD42 superfamily. Pada awal diferensiasi, molekul tersebut
diekspresikan dalam sitoplasmik,2,7,8 dan pada tahap lebih lanjut
diekspresikan di permukaan sel.2
Sumbu horizontal menunjukkan
tahap maturasi, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan intensitas relatif
ekspresi antigen diferensiasi leukosit.
IMUNOFENOTIP PADA LEUKEMIA
MIELOSITIK AKUT BERDASARKAN KLASIFIKASI FAB
Antigen diferensiasi leukosit sering
kali tidak lineage spesifik, oleh karena itu untuk identifikasi lineage
hematopoietik dari sel leukemia digunakan panel antibodi monoklonal.
Klasifikasi FAB membedakan leukemia akut menjadi leukemia limfoblastik akut dan
leukemia mieloblastik akut. Leukemia mieloblastik secara garis besar
dikelompokkan menjadi mieloblastik, monositik, eritroid, dan megakariositik. Sub
tipe mieloblastik dan monositik mengekspresikan CD13, CD33, CD65, CD117, dan
MPO dalam berbagai variasi kombinasi.4
MO (Leukemia mieloblastik akut
tanpa diferensiasi)
Pada tahun 1991 FAB group
mengajukan istilah MO untuk varian AML yang menunjukkan diferensiasi minimal.
Campana dkk. (2000) mengajukan kriteria diagnostik leukemia mieloblastik akut
berdasarkan eksklusi penanda lineage limfoid dan megakariosit. Ekspresi
sitoplasmik CD3 dan CD79a, dan ekspresi molekul TCR merupakan penanda lineage
limfoid. Sedangkan CD41, CD61, dan CD42 merupakan penanda megakariosit.
Jika tidak ada ekspresi penanda limfoid dan megakariositik, ekspresi CD13, CD15,
CD33, CD65, dan MPO dianggap sebagai tanda diferensiasi lineage mieloid.
Leukemia akut tanpa ekspresi MPO diklasifikasikan sebagai AML MO jika tidak
disertai ekspresi penanda limfoid maupun megakariosit. Kebanyakan MO
mengekspresikan CD13 dan CD33, akan tetapi beberapa pasien tidak
mengekspresikan keduanya. Ekspresi CD117 sangat mengindikasikan suatu AML.4,9
M1 (Leukemia mieloblastik akut
dengan diferensiasi minimal)
Pasien AML M1 umumnya
mengekspresikan MPO, CD13, CD33, CD34, CD65, CD117, dan HLA-DR dalam kombinasi
yang bervariasi. Ekspresi CD4, CD11b, CD15, dan CD66 menunjukkan tahap maturasi
yang lebih lanjut jarang dijumpai pada AML M1. Namun tidak ada profil antigenik
dan karyotipik yang khas untuk AML M1.
M2 (Leukemia mieloblastik akut
dengan pematangan)
Sekitar 35-45% pasien M2
mempunyai translokasi ((8:21)(q22:q22) Dalam klasifikasi WHO dimasukkan dalam
kelompok AML with recurrent genetic abnormalities. Sel blas leukemik
pada kelompok ini umumnya menunjukkan ekspresi CD34 dengan
intensitas tinggi, dan mengekspresikan MPO, HLA-DR, dan CD65. Ekspresi
CD13 dan CD33 umumnya rendah, bahkan pada beberapa pasien tidak terdeteksi.
Sebaliknya pada pasien tanpa translokasi t(8;22) selain ekspresi MPO, HLA-DR,
CD34, dan CD65, sel blas leukemik meng- ekspresikan CD13 dan CD33 dengan
intensitas lebih tinggi. Selain itu, sering pula dijumpai ko-ekspresi CD2 dan
CD7, sementara koekspresi CD19 jarang ditemui.4 Pada pasien M2
dengan t(8;21) sering pula dijumpai blas maturation asynchrony dimana
penanda imaturitas seperti CD34 diekspresikan bersamaan dengan CD15 yang
merupakan penanda granulosit matur.9
M3 (Leukemia promielositik
akut)
Kelompok ini mencakup varian M3v
yang menunjukkan populasi promielosit mikrogranuler yang secara morfologis
menyerupai leukemia monositik akut. Dalam klasifikasi WHO 2007, leukemia ini
masuk dalam kelompok AML with recurrent genetic abnormalities dengan
subkelompok Acute promyelocytic leukemia with t(15:17)(q22:q12). Sel leukemik
pada kelompok ini mengekspresikan MPO, CD13, CD33, dan CD65, biasanya tidak
mengekspresikan CD34 dan HLA- DR. Ekspresi atipik CD2 ditemukan pada 40-45%
pasien, dan lebih sering pada sub tipe M3v.4,9
M4 (Leukemia mielomonositik
akut)
Sel blas pada M4 umumnya
mengekspresikan penanda blas imatur yaitu CD34 dan CD117 dengan intensitas
tinggi, disertai penanda maturitas granulosit yaitu MPO, CD 13, CD33, CD15,
CD65, dan penanda maturitas lineage monosit yaitu CD4, CD11b, CD11c,
CD14, CD33, CD64, lysozyme. Selain itu ditemukan ekspresi CD45, dan HLA-DR.
Pada pasien M4 dan M5 dewasa sering kali mengekspresikan CD19. Varian AML M4
yang disertai peningkatan jumlah eosinofil di sumsum tulang (M4E0), biasanya
dihubungkan dengan kelainan sitogenetik inv16(p13.1q22) atau
t(16:16)(p13.1:q22) yang menghasilkan gen chimeric CBF-MYHII. Pada pasien
dengan inv16 (p13.1q22) sering ditemukan koekspresi CD2, namun dianggap tidak
karakteristik untuk menegakkan diagnosis kelainan ini.4,9
M5 (Leukemia monositik akut)
Leukemia monositik mempunyai
karakteristik ekspresi antigen permukaan tertentu. Monoblas umumnya
mengekspresikan MPO, HLA-DR, CD4, CD11b, CD11c, CD33, dan CD65. Kadang-kadang
ditemukan pasien dengan ekspresi CD117, namun kebanyakan tidak mengekspresikan
CD34. Kebanyakan pasien M5 juga mengekspresikan CD15, CD36, dan CD56. Ekspresi
CD14 umumnya terbatas pada lineage monosit, tetapi sering kali tidak
terdeteksi pada pasien M5 anak. Pada beberapa pasien ditemukan bereaksi lemah
dengan antibodi terhadap CD41a dan CD61. Hal ini kemungkinan disebabkan
perlekatan trombosit atau absorpsi glikoprotein IIb/Illa di permukaan sel blas.4,9
Pada klasifikasi WHO leukemia ini masuk dalam kelompok AML with recurrent
genetic abnormalities pada sub kelompok AML with t(9:11)(p22:q23).9
M6 (Eritroleukemia)
Leukemia ini terutama berasal
dari prekursor lineage eritroid. Eritroblas biasanya mengekspresikan
CD36, CD71, dan glycophorin A (GPA). Sering kali M6 sulit dibedakan dengan MO
dan M7 karena eritroblas tanpa diferensiasi sering kali hanya mengekspresikan
sangat sedikit antigen diferensiasi atau bahkan tidak sama sekali, secara
struktural sangat mirip dengan megakarioblas imatur.4
M7 (Leukemia megakariositik
akut)
Pada umumnya M7 mengekspresikan
CD41a dan CD61, dan >50% juga mengekspresikan CD42b. Pasien juga
mengekspresikan CD4 dan CD33. Akan tetapi CD13, CD34, CD36, CD45, dan HLA-DR
sangat jarang terdeteksi. Secara morfologis diagnosis diferensialnya adalah
ALL, AML MO, M5, dan M6. Pada klasifikasi WHO leukemia ini masuk dalam kelompok
AML with recurrent genetic abnormalities pada sub kelompok AML with
t(1;22)(p13;q13).
LINEAGE AMBIGU
Berbeda dengan ekspresi aberan,
istilah lineage ambigu pada leukemia akut menunjukkan ketidakjelasan
arah diferensiasi menuju lineage hematopoietik tertentu. Pada ekspresi
aberan, masih dapat ditentukan lineage hematopoietik dari sel leukemia,
dengan disertai ekspresi ≥1 penanda dari lineage hematopoietik yang lain.10,11
Leukemia akut dengan lineage ambigu
mencakup leukemia tanpa ekspresi antigen yang spesifik untuk lineage tertentu
(Acute undifferentiated leukemia, AUL) dan leukemia akut dengan blas
yang mengekspresikan antigen spesifik untuk 21 lineage (mixed
phenotype acute leukemias, MPAL). MPAL mencakup leukemia dengan >1
populasi blas yang masing-masing mengekspresikan antigen lineage -spesifik,
dan leukemia dengan 1 populasi blas yang mengekspresikan antigen spesifik untuk
>1 lineage.10 Pada klasifikasi WHO tidak lagi membedakan
MPAL menjadi leukemia akut bifenotipik dan bilineage. Pada klasifikasi
terdahulu, istilah leukemia akut bilineage dipakai untuk leukemia akut
dengan >1 populasi sel blas yang masing-masing mengekspresikan penanda lineage-spesifik,
sedangkan bifenotipik dipakai untuk leukemia akut di mana terdapat 1 populasi
sel blas yang mempunyai sifat >1 lineage. EGIL (European Group of
the Immunological Characterization of Leukemias) memakai sistem skor untuk
membedakan suatu leukemia akut bifenotipik dengan ekspresi aberan. 10, 13
Pada leukemia mielositik akut
dengan berbagai kelainan sitogenetik, sering pula dijumpai ekspresi antigen
dari berbagai lineage hematopoietik. Oleh karena itu, leukemia akut
dengan kelainan sitogenetik yang jelas misalnya t(8:21), t(15;17), inv(16), dan
mutasi FGFR1 tidak termasuk dalam MPAL. Demikian pula krisis blastik pada
leukemia mielositik kronik, leukemia terkait MDS, dan leukemia akut yang
terkait terapi.10
Diagnosis leukemia akut lineage
ambigu tergantung pada immunophenotyping. Flowcytometry
sangat berperan, terutama dalam penentuan koekspresi penanda mieloid dan
limfoid pada 1 sel. Pada pasien di mana >1 populasi sel blas yang
masing-masing mengekspresikan penandanya, teknik imunohistokimia dan pewarnaan
sitokimia pada sediaan hapus untuk MPO dapat dipakai bersamaan dengan flowcytometry
untuk diagnosis.10 Sebagai dasar diagnostik MPAL, WHO menetapkan
sejumlah kriteria. Komponen mieloid ditunjukkan dengan adanya ekspresi MPO baik
secara immunophenotyping maupun pewarnaan sitokimia. Penanda mieloid
lain seperti CD13, CD33, dan CD117 tidak cukup untuk mengidentifikasi komponen
mieloid dalam MPAL. Penanda komponen mieloid lain adalah penanda diferensiasi
monosit CD11c, CD14 CD64, NSE, dan lysozyme. Jika ditemukan 2 di antaranya
cukup untuk mengidentifikasi komponen mieloid dalam MPAL.10
Komponen sel T dalam MPAL
ditandai dengan adanya ekspresi yang kuat CD3 sitoplasmik atau di permukaan
sel. Ekspresinya harus sekuat sel T normal. Sedangkan untuk mendeteksi komponen
sel B dalam MPAL tidak ada satu penanda yang sangat spesifik. Identifikasi
komponen sel B didasarkan ekspresi yang kuat CD19 disertai ekspresi kuat dari
salah satu penanda lain yaitu CD79a, CD22 sitoplasmik, atau CD10. Jika ekspresi
CD19 lemah, maka paling tidak dua dari penanda lain tersebut diekspresikan
secara kuat. Secara ringkas, kriteria tersebut terangkum dalam Tabel 1.10
Diagnosis MPAL berdasarkan 1
kriteria pada saat diagnosis bisa berubah sejalan dengan perjalanan penyakit,
atau pada saat kekambuhan (relaps). Selain itu, setelah terapi, kelainan yang
menetap atau relaps dapat muncul sebagai murni AML atau ALL. Fenomena semacam
ini disebut lineage switch.10
Kelompok ke-2 dari leukemia akut lineage
ambigu dalam klasifikasi WHO adalah acute undifferentiated leukemia.
Kelompok ini mirip dengan MO pada klasifikasi FAB. Sel leukemik pada leukemia
jenis ini tidak mengekspresikan penanda yang spesifik untuk lineage limfoid
maupun mieloid. Untuk memastikan diagnosis diperlukan panel antibodi monoklonal
yang lengkap untuk menyingkirkan semua kemungkinan leukemia dari lineage yang
jarang, seperti megakarioblastik, prekursor dendritik sel plasmasitoid, dan
prekursor sel NK.10
Sel leukemik pada acute
undifferentiated leukemia umumnya mengekspresikan HLA-DR, CD34, dan/atau CD38,
kadang-kadang TdT (terminal deoxynucleotidyl transferase). Namun tidak
mengekspresikan penanda lineage sel T dan mieloid CD3 sitoplasmik dan
MPO, serta penanda lineage sel B CD22 dan CD79a sitoplasmik, dan
ekspresi kuat CD19.10
LEUKEMIA-ASSOCIATED
PHENOTYPE & DETEKSI MINIMAL RESIDUAL DISEASE
Pasien leukemia akut memiliki
sekitar 1012 sel
leukemik pada saat diagnosis. Pasien dianggap mengalami remisi penuh (complete
remission, CR) bila blas pada sumsum tulang <5% setelah kemoterapi.
Sensitivitas pemeriksaan morfologis dengan pewarnaan sitokimia hanya mampu
mendeteksi 1 sel leukemik dalam 10² sel normal. Populasi sel leukemik yang
tidak terdeteksi secara morfologis ini disebut minimal residual disease
(MRD), dan berpotensi relaps.
Oleh karena itu, walaupun pasien mencapai CR pasca kemoterapi, umumnya angka survival
5 tahun pasca diagnosis hanya sekitar 20- 40%. Immunophenotyping dengan
kombinasi panel antibodi monoklonal yang akurat dapat meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas dalam deteksi MRD. Beberapa studi melaporkan, dengan metode ini
mampu dideteksi 1 sel leukemik di antara 104 sel normal.13
Analisa imunofenotipik menggunakan panel antibodi monoklonal dalam kombinasi
multiwarna sangat memungkinkan untuk mendeteksi berbagai ekspresi aberan atau
profil fenotipe sel leukemik yang berbeda dari sel blas normal. Pola fenotipe
yang berbeda ini disebut leukemia-associated phenotype (LAP). Berbagai
studi melaporkan sekitar 60-94% pasien AML mempunyai LAP pada saat diagnosis
dengan kombinasi 3-5 warna dalam flowcytometry multiparameter. Deteksi
LAP pada populasi sel leukemik sangat bermanfaat dalam deteksi MRD.13,14,15
Pada AML ekspresi aberan yang sering ditemukan dapat dikelompokkan sebagai:
1. Asynchronous antigen
expression, di mana antigen penanda imaturitas diekspresikan bersamaan
dengan penanda maturitas pada satu sel, misalnya koekspresi CD34 dengan CD15.
2. Lineage infidelity, di
mana antigen penanda lineage limfoid diekspresikan pada blas mieloid,
misalnya CD2, CD3, CD5, CD7, CD10, dan CD19.
3. Over ekspresi antigen, di mana
antigen pada blas mieloid normal diekspresikan dengan intensitas lebih tinggi.
4. Perubahan pola biasan cahaya
(perubahan pada forward-scatter dan side-scatter) dibandingkan
blas normal.
5. Hilangnya antigen lineage spesifik,
misalnya hilangnya ekspresi CD13 dan CD33 pada mieloblas.13
Strategi untuk mendeteksi MRD
dapat dikerjakan secara bertahap yaitu deteksi dan identifikasi fenotipe dari
populasi sel leukemik: identifikasi dan tentukan LAP yang spesifik pada pasien
yang bersangkutan; gunakan LAP selama pemantauan untuk melacak MRD.13 Namun beberapa
faktor mempengaruhi deteksi MRD secara flow cytometry multiparameter,
Sensitivitas analitik ditentukan oleh kemampuan deteksi LAP, spesifisitas oleh
kemampuan mendeteksi sel normal. Oleh karena itu deteksi MRD sangat tergantung
pada persentase ekspresi LAP pada populasi sel leukemik di antara sel sumsum
tulang normal, dan stabilitas LAP yang dapat menghilang akibat adanya phenotypic
shift.13
PEMILIHAN PANEL PEMERIKSAAN
IMUNOFENOTIP
Berdasarkan kenyataan bahwa
hampir tidak ada antigen leukosit yang lineage -spesifik, maka untuk
deteksi dan identifikasi lineage sel leukemik digunakan panel antibodi
monoklonal yang relatif lineage spesifik. Panel antibodi monoklonal ini
harus mampu mendeteksi adanya populasi sel leukemik, mengidentifikasi lineage
hematopoetik dari
sel leukemik tersebut, mendeteksi adanya MPAL, dan mendeteksi ekspresi aberan
(LAP) untuk pemantauan MRD.3,16,17
Berbagai studi merekomendasikan
penerapan strategi 2 tahap untuk penggunaan reagensia yang lebih efisien. Panel
tahap pertama terdiri dari CD19, CD79a, CD3, CD7, CD13, CD33, dan MPO untuk
identifikasi lineage hematopoietik sel leukemik. Panel tahap kedua
ditentukan berdasarkan hasil tahap pertama, yang meliputi antibodi untuk
mendeteksi tahap maturasi dan diferensiasi penentuan prognosis, dan deteksi
LAP.3,16,17
RINGKASAN
Diagnosis leukemia akut
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan si morfologi, sitokimia, sitogenetika, dan immunophenotyping. Pemeriksaan immunophenotyping
dilakukan dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen diferensiasi leukosit. Pola
ekspresi dari antigen
diferensiasi tersebut membantu dalam penentuan lineage sel leukemik,
identifikasi adanya leukemia bifenotipik, klasifikasi dan adanya ekspresi
imunofenotip abnormal akan membantu dalam pemantauan pasien termasuk
identifikasi minimal residual disease dan kekambuhan. Oleh karena tidak
ada satu antigen diferensiasi leukosit yang spesifik untuk satu lineage hematopoietik,
maka dalam pemeriksaan immunophenotyping digunakan panel yang terdiri
dari satu seri antibodi monoklonal. Penentuan panel antibodi yang tepat dapat
membantu mendeteksi leukemia-associated phenotype yang spesifik untuk
setiap pasien, dan berguna untuk deteksi minimal residual disease dan
relaps.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lowenberg B, Downing JR,
Burnett A. Acute myeloid leukemia. N Engl J Med 1999;341(14):1051-59.
2 Bene MC. Immunophenotyping
of acute leukemias. Immunol letter 2005;98:9-21. 3. Schwonzen M, Diehl V,
Dellana M, Staib P. Immunophenotyping of surface antigens in acute
myeloid leukemia by flow cytometry after red blood cell lysis Leukemia Res
2007;31:113-6.
4. Campana D, Behm FG. Immunophenotyping
of leukemia. J Immunol method 2000;243:59-75.
5. Wakui M, Kuriyama K, Miyazaki
Y, Hata T, Taniwaki M, Ohtake S, et al. Diagnosis of acute myeloid leukemia
according to the WHO classification in the Japan Adult Leukemia Study Group
AML-97 Protocol. Int J Hematol 2008:87:144-51.
6. Vardiman J, Harris NL,
Brunning RD. The World Health Organization (WHO) classification of the myeloid
neoplasms. Blood 2002;100:2292-2302
7. van Lochem EG, van der Velden
VHJ, te Marvelde WJG, Westerdaal NAC van Dongen JJM, Immunophenotypic
differentiation patterns of normal hematopoiesis in human bone marrow:
Reference patterns for age-related
changes and disease-induced shifts. Cytometry 2004;60B:1-13.
8. Arnoulet C, Bene MC, Durrieu
F. Feuillard J. Fossat C, Husson B, et al. Four- and five-color flow
cytometry analysis of leukocyte differentiation pathways in normal bone marrow:
a reference document on a systematic approach by the GTLLF and GEIL.
Cytometry 2010:78B:3-10.
9. Vardiman J, Harris NL,
Brunning RD. The World Health Organization (WHO) classification of the myeloid neoplasms.
Blood 2002;100:2292-2302
10. Borowitz MJ, Bene MC, Harris
NL, Porwit A, Matutes E. Acute leukemia ambiguous lineage . In: Swerdlow
SH, Campo E, Harris EL, Jaffe ES, Plen SA, Stein H, Thiele J, Vardiman JW
(eds). WHO Classification of Tumour d Haematopoietic and lymphoid tissues.
IARC: Lyon 2008:150-5.
11. Zhao XF, Gojo I, York T, Ning
Y, Baer MR. Diagnosis of biphenotypic a leukemia: a paradigmatic approach.
Int J Clin Exp Pathol 2010;3(1):75-85
12. Acute leukemia. In:
Bain JB. Leukemia diagnosis 3 ed. Blackwell Publishing Ltd.2003:57-70.
13. Al-Mawali A, Gillis D.
Hissaria P. Lewis I. The role of multiparameter for cytometry for detection
of minimal residual diseas in acute myeloid leukemia Am J Clin Pathol
2009;131:16-26
14. Al-Mawali A, Gillis D.
Hissaria P. Lewis I. Incidence, sensitivity, and specificity of leukemia-associated
phenotypes in acute myeloid leukemia using specific fie color multiparameter
flow cytometry. Am J Clin Pathol 2008;129(6):934-45
15. Campana D, Coustan-Smith E. Detection
of minimal residual disease in acute
leukemia by flow cytometry. Cytometry 1999;38(4):139-52.
16. Wood BL, Arroz M. Barnett D,
DiGuiseppe J, Bruce G, Kussick SJ, et al 2006 Bethesda International Consensus recommendations on
hematolymphoid neoplasia by
flow cytometry: optimal reagents and reporting for the flow cytometry diagnosis of
hematopoietic neoplasia. Cytometry 2007;72B:S14-S22
17. Qadir M, Barcos M, Stewart
CC, Sait NJS, Ford LA, Baer MR. Routine Immunophenotying in acute leukemia:
Role in lineage assignment and reassignment. Cytometry 2006;70B:329-34.