Immunophenotyping pada Leukemia Mieloblastik Akut (Dewi Wulandari)

IMMUNOPHENOTYPING PADA LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

Dewi Wulandari

Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM

 

ABSTRAK

Diagnosis dan penatalaksanaan leukemia tergantung pada deteksi populasi sel leukemia dan identifikasi dari lineage hematopoiesis di mana populasi tersebut berasal. Saat ini terapi keganasan termasuk leukemia berkembang pesat dan menjurus pada targeted therapy. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan diagnostik yang semakin teliti dalam mengidentifikasi fenotipe populasi sel leukemia. Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan sitomorfologi dan sitokimiawi, immunophenotyping, imunogenetika, dan sitogenetika. Sitomorfologi merupakan pemeriksaan lini pertama dalam penegakan diagnosis leukemia. Umumnya pemeriksaan sitomorfologi tidak mampu mengidentifikasi subset dari populasi sel leukemia yang penting secara klinis. Immunophenotyping adalah teknik untuk mengidentifikasi fenotipe suatu populasi sel berdasarkan ikatan antigen-antibodi. Immunophenotyping pada leukemia akut ditujukan untuk mendeteksi adanya populasi abnormal sel hematopoietik dalam darah tepi maupun sumsum tulang, untuk diidentifikasi fenotipnya, dan diinterpretasikan dalam konteks morfologi. Identifikasi fenotipe secara immunophenotyping menggunakan flowcytometry digunakan dalam penegakan diagnosis leukemia akut, identifikasi penanda prognostik, pemantauan terapi, deteksi minimal residual disease, dan identifikasi kekambuhan (relaps). Hampir tidak ada antigen leukosit yang lineage-specific, namun penggunaan panel antibodi monoklonal dapat lebih mengarahkan identifikasi lineage sel leukemia. Panel dasar yang hanya terdiri dari beberapa penanda utama saja cukup untuk penentuan Iineage pada hampir semua kasus leukemia. Panel yang lebih ekstensif memberikan informasi lebih mengenai tahap diferensiasi, menilai berbagai faktor prognostik, dan menentukan klonalitas. Identifikasi leukemia-associated phenotype dapat dipakai untuk pemantauan minimal residual disease selama terapi. Adanya sel yang mengekspresikan fenotipe tersebut pada pasien yang berada dalam fase remisi menunjukkan risiko kekambuhan yang lebih besar.

PENDAHULUAN

Diagnosis dan penatalaksanaan leukemia akut sangat tergantung pada deteksi sel leukemik dan identifikasi lineage hematopoietik asal sel leukemik tersebut. Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan sitomorfologi, sitokimia, sitogenetika, dan immunophenotyping. Pemeriksaan sitomorfologi darah tepi atau sumsum tulang dengan pewarnaan May Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa masih merupakan pemeriksaan lini pertama dalam identifikasi sel leukemik. Berdasarkan pemeriksaan sitomorfologi dan sitokimia, leukemia akut dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi French-American-British (FAB) group. Ada kalanya sulit untuk identifikasi lineage hematopoietik asal sel leukemik tersebut, dan identifikasi jika >1 lineage yang terlibat. Selain itu, pemantauan dan identifikasi minimal residual disease hampir tidak mungkin di- lakukan dengan pemeriksaan sitomorfologi. Oleh karena itu, berbagai metode pemeriksaan dikembangkan untuk identifikasi dan kuantifikasi sel leukemik sejalan dengan pesatnya perkembangan dalam modalitas terapi keganasan termasuk leukemia akut. 1,2,3

Pemeriksaan immunophenotyping dilakukan berdasarkan penggunaan antibodi monoklonal untuk identifikasi suatu populasi sel. Saat ini telah dikembangkan ratusan antibodi monoklonal terhadap antigen diferensiasi leukosit yang dikenal sebagai Cluster of Differentiation (CD). Pola ekspresi dari CD tersebut membantu dalam penentuan lineage sel leukemik, identifikasi leukemia bifenotipik, klasifikasi leukemia akut, dan ekspresi imunofenotip abnormal dalam pemantauan pasien termasuk identifikasi minimal residual disease dan kekambuhan. Tidak ada satu CD yang spesifik untuk 1 lineage hematopoietik, maka dalam pemeriksaan immunophenotyping digunakan panel yang terdiri dari beberapa antibodi monoklonal.4

Klasifikasi FAB membedakan leukemia akut menjadi leukemia limfoblastik akut dan leukemia mieloblastik akut. Leukemia mieloblastik akut dikelompokkan lagi menjadi mieloblastik, monosítik, eritroid, dan megakariositik. Sejak 2002, kelompok studi WHO mempublikasikan sistem klasifikasi baru dengan menambahkan pemeriksaan sitogenetika, namun karena keterbatasan fasilitas sitogenetika di Indonesia klasifikasi FAB masih tetap dipakai. Makalah ini akan membahas imunofenotip leukemia mieloblastik akut berdasarkan FAB dengan memasukkan beberapa hal dari klasifikasi WHO.5,6

IMUNOFENOTIP DAN MATURASI LINEAGE MIELOID

Sel hematopoietik dari lineage mieloid akan berkembang menjadi sel yang terlibat dalam sistem imun alamiah. Sel ini tidak mempunyai komposisi reseptor yang serumit sel lineage limfoid, namun mempunyai kemampuan bereaksi secara cepat terhadap patogen dan menghancurkannya melalui proses fagositosis. Oleh karena itu, komponen yang terkait fungsi tersebut dapat digunakan sebagai antigen diferensiasi lineage mieloid.2 Secara skematik ekspresi antigen diferensiasi pada tahap maturasi lineage mieloid.

Antigen diferensiasi yang paling dini muncul pada sel induk (stem cell) adalah CD34 dan molekul MHC kelas II DR. Pada sel induk totipoten yang lebih dini, ditemukan CD34'/DR. Ekspresi DR dihubungkan dengan interaksi antara sel dengan stroma sumsum tulang.2,7,8

Mieloperoksidase merupakan enzim sitoplasma yang tersimpan dalam fagosom dan berperan dalam pembentukan hidrogen peroksida. Enzim ini diekspresikan pada berbagai tingkat pada hampir semua sel mieloid. Ekspresi MPO merupakan penanda paling dini yang menunjukkan sel induk CD34/DR akan berkembang menjadi lineage mieloid. Enzim lain seperti lactoferin dan lisozyme juga merupakan penanda lineage mieloid, tetapi baru diekspresikan pada tahap pematangan lebih lanjut.2

CD117 merupakan reseptor stem cell factor (SCF) yang dikode oleh gen c-kit. CD117 juga merupakan imunoglobulin super family (IgSF) yang mempunyai 4 domain ekstraseluler dan bagian intraselular merupakan suatu domain tirosin kinase. Bersama dengan CD13 dan CD33, CD117 dianggap sebagai penanda dini perkembangan lineage mieloid, yang diekspresikan pada permukaan sel mieloblas dengan kombinasi yang bervariasi. Ekspresi CD117 akan menghilang seiring dengan maturasi sel blas tersebut. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan fungsi CD117 sebagai reseptor SCF. 2,7,8

CD13 merupakan suatu ektopeptidase yang mirip dengan CD10. CD13 mempunyai struktur ekstraselular berupa homodimer yang terdiri dari 2 domain enzimatik. CD13 juga diekspresikan secara kuat oleh enterosit dan sel epitel tubular ginjal.2

CD33 adalah suatu homodimer yang merupakan anggota dari imunoglobulin super family (IgSF), dengan 2 domain ekstraseluler pada setiap monomernya. CD33 merupakan molekul adhesi yang berperan dalam interaksi antarsel.2

CD14 merupakan bagian dari reseptor lipopolisakarida (LPS). Molekulnya terdiri dari struktur ekstraselular yang terkait pada permukaan sel melalui suatu angkur glycerophosphatidil inositol (GPI). CD14 dapat berikatan dengan LPS bebas maupun yang terikat protein. Selanjutnya CD14 akan berikatan dengan toll-like receptor (TLR), terutama TLR4 yang akan merangsang aktivasi, fagositosis, dan sekresi sitokin proinflamasi. CD14 merupakan molekul yang secara spesifik diekspresikan oleh monosit. 2,7,8

CD15 dan CD65, merupakan motif karbohidrat yang dapat berikatan dengan berbagai protein. CD15 dikenal sebagai antigen Lewis x. CD15 yang terikat CD11b diketahui sebagai ligan bagi antigen diferensiasi sel dendritik DC-SIGN. CD15 dan CD65 dianggap sebagai penanda karakteristik bagi neutrofil.2,7

Sel mieloid juga mengekspresikan reseptor opsonisasi untuk memfasilitasi fagositosis, yaitu reseptor imunoglobulin dan reseptor fraksi komplemen. Famili reseptor Fc untuk IgG dibentuk oleh 3 molekul IgSF yaitu CD16, CD32, dan CD64, yang dapat membentuk berbagai isoform. Struktur ini akan mengenali dan mengikat IgG yang telah terikat dalam suatu kompleks antigen-antibodi, baik dalam bentuk terlarut maupun pada permukaan sel target. Sekelompok reseptor komplemen juga dipakai sel mieloid untuk mengikat partikel yang teropsonisasi atau kompleks imun yang telah mulai mengaktivasi kaskade komplemen.

CD35 disebut juga CR1 (complement receptor 1), merupakan bagian dari kelompok regulator aktivasi komplemen, yang akan mengikat C3b, C4b, dan iC3b.2 Integrin yang terdiri dari CD11b/CD18 dan CD11c/CD18 juga merupakan reseptor komplemen, yaitu CR3 dan CR4. Molekul ini berfungsi sebagai molekul adhesi yang berperan dalam mobilisasi sel mieloid ke tempat inflamasi. CD36 merupakan reseptor trombospondin yang terdiri dari rantai tunggal polipeptida. Molekul ini akan mengikat kolagen dan low density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi.2

Dua sel lain yang lebih jarang menjadi leukemia, dan dalam klasifikasi FAB dimasukkan dalam kategori leukemia mieloblastik akut adalah eritroblas dan megakarioblas. Kedua sel ini tidak mengekspresikan MPO, tetapi lebih dini mengekspresikan antigen diferensiasi. Antigen diferensiasi yang paling karakteristik untuk eritroblas adalah CD36 dan glycophorin. Sedangkan megakariosit mengekspresikan integrin CD41, CD61 dan anggota CD42 superfamily. Pada awal diferensiasi, molekul tersebut diekspresikan dalam sitoplasmik,2,7,8 dan pada tahap lebih lanjut diekspresikan di permukaan sel.2

Sumbu horizontal menunjukkan tahap maturasi, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan intensitas relatif ekspresi antigen diferensiasi leukosit.

IMUNOFENOTIP PADA LEUKEMIA MIELOSITIK AKUT BERDASARKAN KLASIFIKASI FAB

Antigen diferensiasi leukosit sering kali tidak lineage spesifik, oleh karena itu untuk identifikasi lineage hematopoietik dari sel leukemia digunakan panel antibodi monoklonal. Klasifikasi FAB membedakan leukemia akut menjadi leukemia limfoblastik akut dan leukemia mieloblastik akut. Leukemia mieloblastik secara garis besar dikelompokkan menjadi mieloblastik, monositik, eritroid, dan megakariositik. Sub tipe mieloblastik dan monositik mengekspresikan CD13, CD33, CD65, CD117, dan MPO dalam berbagai variasi kombinasi.4

MO (Leukemia mieloblastik akut tanpa diferensiasi)

Pada tahun 1991 FAB group mengajukan istilah MO untuk varian AML yang menunjukkan diferensiasi minimal. Campana dkk. (2000) mengajukan kriteria diagnostik leukemia mieloblastik akut berdasarkan eksklusi penanda lineage limfoid dan megakariosit. Ekspresi sitoplasmik CD3 dan CD79a, dan ekspresi molekul TCR merupakan penanda lineage limfoid. Sedangkan CD41, CD61, dan CD42 merupakan penanda megakariosit. Jika tidak ada ekspresi penanda limfoid dan megakariositik, ekspresi CD13, CD15, CD33, CD65, dan MPO dianggap sebagai tanda diferensiasi lineage mieloid. Leukemia akut tanpa ekspresi MPO diklasifikasikan sebagai AML MO jika tidak disertai ekspresi penanda limfoid maupun megakariosit. Kebanyakan MO mengekspresikan CD13 dan CD33, akan tetapi beberapa pasien tidak mengekspresikan keduanya. Ekspresi CD117 sangat mengindikasikan suatu AML.4,9

M1 (Leukemia mieloblastik akut dengan diferensiasi minimal)

Pasien AML M1 umumnya mengekspresikan MPO, CD13, CD33, CD34, CD65, CD117, dan HLA-DR dalam kombinasi yang bervariasi. Ekspresi CD4, CD11b, CD15, dan CD66 menunjukkan tahap maturasi yang lebih lanjut jarang dijumpai pada AML M1. Namun tidak ada profil antigenik dan karyotipik yang khas untuk AML M1.

M2 (Leukemia mieloblastik akut dengan pematangan)

Sekitar 35-45% pasien M2 mempunyai translokasi ((8:21)(q22:q22) Dalam klasifikasi WHO dimasukkan dalam kelompok AML with recurrent genetic abnormalities. Sel blas leukemik pada kelompok ini umumnya menunjukkan ekspresi CD34 dengan intensitas tinggi, dan mengekspresikan MPO, HLA-DR, dan CD65. Ekspresi CD13 dan CD33 umumnya rendah, bahkan pada beberapa pasien tidak terdeteksi. Sebaliknya pada pasien tanpa translokasi t(8;22) selain ekspresi MPO, HLA-DR, CD34, dan CD65, sel blas leukemik meng- ekspresikan CD13 dan CD33 dengan intensitas lebih tinggi. Selain itu, sering pula dijumpai ko-ekspresi CD2 dan CD7, sementara koekspresi CD19 jarang ditemui.4 Pada pasien M2 dengan t(8;21) sering pula dijumpai blas maturation asynchrony dimana penanda imaturitas seperti CD34 diekspresikan bersamaan dengan CD15 yang merupakan penanda granulosit matur.9

M3 (Leukemia promielositik akut)

Kelompok ini mencakup varian M3v yang menunjukkan populasi promielosit mikrogranuler yang secara morfologis menyerupai leukemia monositik akut. Dalam klasifikasi WHO 2007, leukemia ini masuk dalam kelompok AML with recurrent genetic abnormalities dengan subkelompok Acute promyelocytic leukemia with t(15:17)(q22:q12). Sel leukemik pada kelompok ini mengekspresikan MPO, CD13, CD33, dan CD65, biasanya tidak mengekspresikan CD34 dan HLA- DR. Ekspresi atipik CD2 ditemukan pada 40-45% pasien, dan lebih sering pada sub tipe M3v.4,9

M4 (Leukemia mielomonositik akut)

Sel blas pada M4 umumnya mengekspresikan penanda blas imatur yaitu CD34 dan CD117 dengan intensitas tinggi, disertai penanda maturitas granulosit yaitu MPO, CD 13, CD33, CD15, CD65, dan penanda maturitas lineage monosit yaitu CD4, CD11b, CD11c, CD14, CD33, CD64, lysozyme. Selain itu ditemukan ekspresi CD45, dan HLA-DR. Pada pasien M4 dan M5 dewasa sering kali mengekspresikan CD19. Varian AML M4 yang disertai peningkatan jumlah eosinofil di sumsum tulang (M4E0), biasanya dihubungkan dengan kelainan sitogenetik inv16(p13.1q22) atau t(16:16)(p13.1:q22) yang menghasilkan gen chimeric CBF-MYHII. Pada pasien dengan inv16 (p13.1q22) sering ditemukan koekspresi CD2, namun dianggap tidak karakteristik untuk menegakkan diagnosis kelainan ini.4,9

M5 (Leukemia monositik akut)

Leukemia monositik mempunyai karakteristik ekspresi antigen permukaan tertentu. Monoblas umumnya mengekspresikan MPO, HLA-DR, CD4, CD11b, CD11c, CD33, dan CD65. Kadang-kadang ditemukan pasien dengan ekspresi CD117, namun kebanyakan tidak mengekspresikan CD34. Kebanyakan pasien M5 juga mengekspresikan CD15, CD36, dan CD56. Ekspresi CD14 umumnya terbatas pada lineage monosit, tetapi sering kali tidak terdeteksi pada pasien M5 anak. Pada beberapa pasien ditemukan bereaksi lemah dengan antibodi terhadap CD41a dan CD61. Hal ini kemungkinan disebabkan perlekatan trombosit atau absorpsi glikoprotein IIb/Illa di permukaan sel blas.4,9 Pada klasifikasi WHO leukemia ini masuk dalam kelompok AML with recurrent genetic abnormalities pada sub kelompok AML with t(9:11)(p22:q23).9

M6 (Eritroleukemia)

Leukemia ini terutama berasal dari prekursor lineage eritroid. Eritroblas biasanya mengekspresikan CD36, CD71, dan glycophorin A (GPA). Sering kali M6 sulit dibedakan dengan MO dan M7 karena eritroblas tanpa diferensiasi sering kali hanya mengekspresikan sangat sedikit antigen diferensiasi atau bahkan tidak sama sekali, secara struktural sangat mirip dengan megakarioblas imatur.4

M7 (Leukemia megakariositik akut)

Pada umumnya M7 mengekspresikan CD41a dan CD61, dan >50% juga mengekspresikan CD42b. Pasien juga mengekspresikan CD4 dan CD33. Akan tetapi CD13, CD34, CD36, CD45, dan HLA-DR sangat jarang terdeteksi. Secara morfologis diagnosis diferensialnya adalah ALL, AML MO, M5, dan M6. Pada klasifikasi WHO leukemia ini masuk dalam kelompok AML with recurrent genetic abnormalities pada sub kelompok AML with t(1;22)(p13;q13).

LINEAGE AMBIGU

Berbeda dengan ekspresi aberan, istilah lineage ambigu pada leukemia akut menunjukkan ketidakjelasan arah diferensiasi menuju lineage hematopoietik tertentu. Pada ekspresi aberan, masih dapat ditentukan lineage hematopoietik dari sel leukemia, dengan disertai ekspresi ≥1 penanda dari lineage hematopoietik yang lain.10,11

Leukemia akut dengan lineage ambigu mencakup leukemia tanpa ekspresi antigen yang spesifik untuk lineage tertentu (Acute undifferentiated leukemia, AUL) dan leukemia akut dengan blas yang mengekspresikan antigen spesifik untuk 21 lineage (mixed phenotype acute leukemias, MPAL). MPAL mencakup leukemia dengan >1 populasi blas yang masing-masing mengekspresikan antigen lineage -spesifik, dan leukemia dengan 1 populasi blas yang mengekspresikan antigen spesifik untuk >1 lineage.10 Pada klasifikasi WHO tidak lagi membedakan MPAL menjadi leukemia akut bifenotipik dan bilineage. Pada klasifikasi terdahulu, istilah leukemia akut bilineage dipakai untuk leukemia akut dengan >1 populasi sel blas yang masing-masing mengekspresikan penanda lineage-spesifik, sedangkan bifenotipik dipakai untuk leukemia akut di mana terdapat 1 populasi sel blas yang mempunyai sifat >1 lineage. EGIL (European Group of the Immunological Characterization of Leukemias) memakai sistem skor untuk membedakan suatu leukemia akut bifenotipik dengan ekspresi aberan. 10, 13

Pada leukemia mielositik akut dengan berbagai kelainan sitogenetik, sering pula dijumpai ekspresi antigen dari berbagai lineage hematopoietik. Oleh karena itu, leukemia akut dengan kelainan sitogenetik yang jelas misalnya t(8:21), t(15;17), inv(16), dan mutasi FGFR1 tidak termasuk dalam MPAL. Demikian pula krisis blastik pada leukemia mielositik kronik, leukemia terkait MDS, dan leukemia akut yang terkait terapi.10

Diagnosis leukemia akut lineage ambigu tergantung pada immunophenotyping. Flowcytometry sangat berperan, terutama dalam penentuan koekspresi penanda mieloid dan limfoid pada 1 sel. Pada pasien di mana >1 populasi sel blas yang masing-masing mengekspresikan penandanya, teknik imunohistokimia dan pewarnaan sitokimia pada sediaan hapus untuk MPO dapat dipakai bersamaan dengan flowcytometry untuk diagnosis.10 Sebagai dasar diagnostik MPAL, WHO menetapkan sejumlah kriteria. Komponen mieloid ditunjukkan dengan adanya ekspresi MPO baik secara immunophenotyping maupun pewarnaan sitokimia. Penanda mieloid lain seperti CD13, CD33, dan CD117 tidak cukup untuk mengidentifikasi komponen mieloid dalam MPAL. Penanda komponen mieloid lain adalah penanda diferensiasi monosit CD11c, CD14 CD64, NSE, dan lysozyme. Jika ditemukan 2 di antaranya cukup untuk mengidentifikasi komponen mieloid dalam MPAL.10

Komponen sel T dalam MPAL ditandai dengan adanya ekspresi yang kuat CD3 sitoplasmik atau di permukaan sel. Ekspresinya harus sekuat sel T normal. Sedangkan untuk mendeteksi komponen sel B dalam MPAL tidak ada satu penanda yang sangat spesifik. Identifikasi komponen sel B didasarkan ekspresi yang kuat CD19 disertai ekspresi kuat dari salah satu penanda lain yaitu CD79a, CD22 sitoplasmik, atau CD10. Jika ekspresi CD19 lemah, maka paling tidak dua dari penanda lain tersebut diekspresikan secara kuat. Secara ringkas, kriteria tersebut terangkum dalam Tabel 1.10


Diagnosis MPAL berdasarkan 1 kriteria pada saat diagnosis bisa berubah sejalan dengan perjalanan penyakit, atau pada saat kekambuhan (relaps). Selain itu, setelah terapi, kelainan yang menetap atau relaps dapat muncul sebagai murni AML atau ALL. Fenomena semacam ini disebut lineage switch.10

Kelompok ke-2 dari leukemia akut lineage ambigu dalam klasifikasi WHO adalah acute undifferentiated leukemia. Kelompok ini mirip dengan MO pada klasifikasi FAB. Sel leukemik pada leukemia jenis ini tidak mengekspresikan penanda yang spesifik untuk lineage limfoid maupun mieloid. Untuk memastikan diagnosis diperlukan panel antibodi monoklonal yang lengkap untuk menyingkirkan semua kemungkinan leukemia dari lineage yang jarang, seperti megakarioblastik, prekursor dendritik sel plasmasitoid, dan prekursor sel NK.10

Sel leukemik pada acute undifferentiated leukemia umumnya mengekspresikan HLA-DR, CD34, dan/atau CD38, kadang-kadang TdT (terminal deoxynucleotidyl transferase). Namun tidak mengekspresikan penanda lineage sel T dan mieloid CD3 sitoplasmik dan MPO, serta penanda lineage sel B CD22 dan CD79a sitoplasmik, dan ekspresi kuat CD19.10

LEUKEMIA-ASSOCIATED PHENOTYPE & DETEKSI MINIMAL RESIDUAL DISEASE

Pasien leukemia akut memiliki sekitar 1012 sel leukemik pada saat diagnosis. Pasien dianggap mengalami remisi penuh (complete remission, CR) bila blas pada sumsum tulang <5% setelah kemoterapi. Sensitivitas pemeriksaan morfologis dengan pewarnaan sitokimia hanya mampu mendeteksi 1 sel leukemik dalam 10² sel normal. Populasi sel leukemik yang tidak terdeteksi secara morfologis ini disebut minimal residual disease (MRD), dan berpotensi relaps. Oleh karena itu, walaupun pasien mencapai CR pasca kemoterapi, umumnya angka survival 5 tahun pasca diagnosis hanya sekitar 20- 40%. Immunophenotyping dengan kombinasi panel antibodi monoklonal yang akurat dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam deteksi MRD. Beberapa studi melaporkan, dengan metode ini mampu dideteksi 1 sel leukemik di antara 104 sel normal.13 Analisa imunofenotipik menggunakan panel antibodi monoklonal dalam kombinasi multiwarna sangat memungkinkan untuk mendeteksi berbagai ekspresi aberan atau profil fenotipe sel leukemik yang berbeda dari sel blas normal. Pola fenotipe yang berbeda ini disebut leukemia-associated phenotype (LAP). Berbagai studi melaporkan sekitar 60-94% pasien AML mempunyai LAP pada saat diagnosis dengan kombinasi 3-5 warna dalam flowcytometry multiparameter. Deteksi LAP pada populasi sel leukemik sangat bermanfaat dalam deteksi MRD.13,14,15 Pada AML ekspresi aberan yang sering ditemukan dapat dikelompokkan sebagai:

1. Asynchronous antigen expression, di mana antigen penanda imaturitas diekspresikan bersamaan dengan penanda maturitas pada satu sel, misalnya koekspresi CD34 dengan CD15.

2. Lineage infidelity, di mana antigen penanda lineage limfoid diekspresikan pada blas mieloid, misalnya CD2, CD3, CD5, CD7, CD10, dan CD19.

3. Over ekspresi antigen, di mana antigen pada blas mieloid normal diekspresikan dengan intensitas lebih tinggi.

4. Perubahan pola biasan cahaya (perubahan pada forward-scatter dan side-scatter) dibandingkan blas normal.

5. Hilangnya antigen lineage spesifik, misalnya hilangnya ekspresi CD13 dan CD33 pada mieloblas.13

Strategi untuk mendeteksi MRD dapat dikerjakan secara bertahap yaitu deteksi dan identifikasi fenotipe dari populasi sel leukemik: identifikasi dan tentukan LAP yang spesifik pada pasien yang bersangkutan; gunakan LAP selama pemantauan untuk melacak MRD.13 Namun beberapa faktor mempengaruhi deteksi MRD secara flow cytometry multiparameter, Sensitivitas analitik ditentukan oleh kemampuan deteksi LAP, spesifisitas oleh kemampuan mendeteksi sel normal. Oleh karena itu deteksi MRD sangat tergantung pada persentase ekspresi LAP pada populasi sel leukemik di antara sel sumsum tulang normal, dan stabilitas LAP yang dapat menghilang akibat adanya phenotypic shift.13

PEMILIHAN PANEL PEMERIKSAAN IMUNOFENOTIP

Berdasarkan kenyataan bahwa hampir tidak ada antigen leukosit yang lineage -spesifik, maka untuk deteksi dan identifikasi lineage sel leukemik digunakan panel antibodi monoklonal yang relatif lineage spesifik. Panel antibodi monoklonal ini harus mampu mendeteksi adanya populasi sel leukemik, mengidentifikasi lineage hematopoetik dari sel leukemik tersebut, mendeteksi adanya MPAL, dan mendeteksi ekspresi aberan (LAP) untuk pemantauan MRD.3,16,17

Berbagai studi merekomendasikan penerapan strategi 2 tahap untuk penggunaan reagensia yang lebih efisien. Panel tahap pertama terdiri dari CD19, CD79a, CD3, CD7, CD13, CD33, dan MPO untuk identifikasi lineage hematopoietik sel leukemik. Panel tahap kedua ditentukan berdasarkan hasil tahap pertama, yang meliputi antibodi untuk mendeteksi tahap maturasi dan diferensiasi penentuan prognosis, dan deteksi LAP.3,16,17

RINGKASAN

Diagnosis leukemia akut ditegakkan berdasarkan pemeriksaan si morfologi, sitokimia, sitogenetika, dan immunophenotyping. Pemeriksaan immunophenotyping dilakukan dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen diferensiasi leukosit. Pola ekspresi dari antigen diferensiasi tersebut membantu dalam penentuan lineage sel leukemik, identifikasi adanya leukemia bifenotipik, klasifikasi dan adanya ekspresi imunofenotip abnormal akan membantu dalam pemantauan pasien termasuk identifikasi minimal residual disease dan kekambuhan. Oleh karena tidak ada satu antigen diferensiasi leukosit yang spesifik untuk satu lineage hematopoietik, maka dalam pemeriksaan immunophenotyping digunakan panel yang terdiri dari satu seri antibodi monoklonal. Penentuan panel antibodi yang tepat dapat membantu mendeteksi leukemia-associated phenotype yang spesifik untuk setiap pasien, dan berguna untuk deteksi minimal residual disease dan relaps.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Lowenberg B, Downing JR, Burnett A. Acute myeloid leukemia. N Engl J Med 1999;341(14):1051-59.

2 Bene MC. Immunophenotyping of acute leukemias. Immunol letter 2005;98:9-21. 3. Schwonzen M, Diehl V, Dellana M, Staib P. Immunophenotyping of surface antigens in acute myeloid leukemia by flow cytometry after red blood cell lysis Leukemia Res 2007;31:113-6.

4. Campana D, Behm FG. Immunophenotyping of leukemia. J Immunol method 2000;243:59-75.

5. Wakui M, Kuriyama K, Miyazaki Y, Hata T, Taniwaki M, Ohtake S, et al. Diagnosis of acute myeloid leukemia according to the WHO classification in the Japan Adult Leukemia Study Group AML-97 Protocol. Int J Hematol 2008:87:144-51.

6. Vardiman J, Harris NL, Brunning RD. The World Health Organization (WHO) classification of the myeloid neoplasms. Blood 2002;100:2292-2302

7. van Lochem EG, van der Velden VHJ, te Marvelde WJG, Westerdaal NAC van Dongen JJM, Immunophenotypic differentiation patterns of normal hematopoiesis in human bone marrow: Reference patterns for age-related changes and disease-induced shifts. Cytometry 2004;60B:1-13.

8. Arnoulet C, Bene MC, Durrieu F. Feuillard J. Fossat C, Husson B, et al. Four- and five-color flow cytometry analysis of leukocyte differentiation pathways in normal bone marrow: a reference document on a systematic approach by the GTLLF and GEIL. Cytometry 2010:78B:3-10.

9. Vardiman J, Harris NL, Brunning RD. The World Health Organization (WHO) classification of the myeloid neoplasms. Blood 2002;100:2292-2302

10. Borowitz MJ, Bene MC, Harris NL, Porwit A, Matutes E. Acute leukemia ambiguous lineage . In: Swerdlow SH, Campo E, Harris EL, Jaffe ES, Plen SA, Stein H, Thiele J, Vardiman JW (eds). WHO Classification of Tumour d Haematopoietic and lymphoid tissues. IARC: Lyon 2008:150-5.

11. Zhao XF, Gojo I, York T, Ning Y, Baer MR. Diagnosis of biphenotypic a leukemia: a paradigmatic approach. Int J Clin Exp Pathol 2010;3(1):75-85

12. Acute leukemia. In: Bain JB. Leukemia diagnosis 3 ed. Blackwell Publishing Ltd.2003:57-70.

13. Al-Mawali A, Gillis D. Hissaria P. Lewis I. The role of multiparameter for cytometry for detection of minimal residual diseas in acute myeloid leukemia Am J Clin Pathol 2009;131:16-26

14. Al-Mawali A, Gillis D. Hissaria P. Lewis I. Incidence, sensitivity, and specificity of leukemia-associated phenotypes in acute myeloid leukemia using specific fie color multiparameter flow cytometry. Am J Clin Pathol 2008;129(6):934-45

15. Campana D, Coustan-Smith E. Detection of minimal residual disease in acute leukemia by flow cytometry. Cytometry 1999;38(4):139-52.

16. Wood BL, Arroz M. Barnett D, DiGuiseppe J, Bruce G, Kussick SJ, et al 2006 Bethesda International Consensus recommendations on hematolymphoid neoplasia by flow cytometry: optimal reagents and reporting for the flow cytometry diagnosis of hematopoietic neoplasia. Cytometry 2007;72B:S14-S22

17. Qadir M, Barcos M, Stewart CC, Sait NJS, Ford LA, Baer MR. Routine Immunophenotying in acute leukemia: Role in lineage assignment and reassignment. Cytometry 2006;70B:329-34.



Popular posts from this blog

Flow Cytometry Pada Keganasan (Dewi Wulandari)

Genetika Kanker (Ninik Sukartini)

Klasifikasi dan Diagnosis Leukemia Mieloblastik Akut (Riadi Wirawan)